“Ini kalian gimana sih, anak – anak pada berantem kok nggak ada yang tau?” Bu Nana memarahi para guru begitu 18 guru termasuk dirinya berkumpul di ruangan meeting.
“Lah kan udah ada Mas Irvan tadi, Mbak!” celetuk seorang guru musik berkulit putih dan rambut seleher bernama Gisella.
“Menurut Irvan, anak-anak tadi udah berantem saat Irvan baru datang. Lalu barusan saya cek CCTV itu ada lho selisihnya sekitar lima menit.” tegasnya.
Seisi ruangan langsung terdiam.
“Padahal mereka berantem nggak jauh dari ruangan guru, harusnya kalian pasang telinga dong!”
“Mbak Nana!” panggil Raline guru art sambil menyibakkan rambut panjangnya. “wali kelas mereka itu kan Karin, Irvan, Rio dan Ario. Harusnya mereka dong yang disalahin, kenapa kita juga ikut diseret - seret?”
“Betul, Mbak!” saut Vita yang merupakan guru IT teman satu geng Raline dan Gisel. “saya disini untuk ngajar IT, bukan jadi babysitter anak-anak itu.”
“Iya!” timpal Gisel. “saya nggak mengorbankan karir bermusik saya untuk ngurusin anak-anak yang berantem.”
Sontak celetukan ketiga guru yang terkenal paling judes itu menimbulkan cemooh guru-guru lainnya.
“Karir musik lo tuh udah tamat! Lo udah nggak laku lagi jadi penyanyi.” celetuk Uus guru kimia sekaligus ekskul stand up comedian. “masih bagus pak Ferry mau nampung lo disini.”
Sontak celetukan Uus membuat guru lainnya menahan tawa.
“Lah, kalo lo mau jadi babysitter kemana lo tadi pas anak-anak itu pada berantem?” Gisel yang tak mau kalah langsung men-skakmat Uus.
“Nggak kayak lo bertiga, gue sibuk bikin materi sosialisasi ekskul stand up comedian.” saut pria kulit sawo matang itu mantap.
“Lo pikir kita bertiga nggak sibuk ngurusin pekan seni!” ketus Vita kepada Uus.
Bu Nana yang geram langsung menggebrak meja.
“Begitu kalian sudah komit mengajar di sekolah ini, tugas kalian itu juga mengawasi dan menjaga anak-anak.” tegas Bu Nana. “makanya Pak Ferry membayar kalian lebih tinggi dari tempat lama kalian bekerja!”
Para guru langsung terdiam.
“Gaji kalian ini termasuk mahal lho dibanding guru manapun di negara kita!” lanjutnya lagi.
Suasana masih sunyi.
“Nggak peduli deh, mau siapa wali kelasnya.” lanjutnya lagi. “Pokoknya siapapun yang pertama kali di dekat situ langsung sigap! Percuma ada CCTV dimana-mana dan layar TV segede itu di ruang guru.”
“Baik kami minta maaf ya, Mba Nana.” ujar Laura guru PPKN yang duduk paling ujung. “kedepannya kami lebih memperhatikan anak-anak lagi.”
“Masalahnya kan hari ini ada orang tua murid.” Bu Nana lanjut menceramahi para guru. “kita tuh udah menggadang-gadang kalau sekolah kita unggulan, positive vibes, positive energy, good manner, work environment. Tapi belum apa-apa yang dilihat malah gerombolan anak pada berantem! Kelas 12 lagi.”
Para guru hanya menghela nafas dan pasrah dimarahi atasan mereka.
“Kalau ada yang ngerekam terus upload di social media dan viral gimana?”
Para guru masih terdiam.
“Susah – susah lo para kepala sekolah dan Pak Ferry membangun prestasi untuk We School.”
Guru Geografi sekaligus wali kelas XII IPS itu angkat bicara.
“Mbak Nana, kalau saya boleh usul….” Rio menggantung kalimat sambil membetulkan letak kaca matanya. “gimana kalau anak-anak yang sering konflik ini kita satukan dalam kelompok dan kita kasih tugas project kelas gitu.”
Bu Nana tampak mendengarkan dengan saksama. Meski dirinya sudah membuat perwakilan kedua kubu itu satu kelas, tetap saja harus terbuka terhadap masukan.
“Kalau mereka terlibat dalam satu project kan otomatis nggak ada energi untuk berantem, Mbak.” lanjut Rio lagi.
“Boleh sih, karena selama ini kan mereka sendiri yang pilih kelompoknya.” Nana sambil berpikir. “jadi ya mereka nggak membaur.”
“Sekaligus kita tanamkan ke mereka pentingnya kolaborasi daripada bersaing.” timpal Ario yang merupakan guru wali kelas XII Bahasa dan juga guru bahasa Indonesia.
“Oke.” ujar Bu Nana. “berarti nanti Karin, Irvan, Rio dan Ario, kalian berempat yang paling bertanggung jawab menangani konflik anak –anak ini ya. Kalian kan wali kelas mereka.”
Mereka berempat pun mengangguk. “siap, Mbak.”
Nana kemudian menoleh kepada Cinta. “jangan lupa konseling untuk mereka harus lebih sering.”
Cinta menyauti. “siap, Mbak.”
“Oiya untuk Raline, Gisel dan Vita.” panggil Nana. “Natasha dan ketiga temannya akan membantu kalian untuk persiapan pekan seni. Itu hukuman yang saya berikan ke mereka.”
Ketiga sekawan yang sering dijuluki trio badut itu hanya mengangguk. “Oke, no problem!”
Meski ketiganya cantik, namun tetap saja sifat angkuhnya membuat kesal banyak orang.