Hari pertama di tahun ajaran baru, tentu saja para murid pulang lebih awal. Namun, masih ada beberapa kegiatan di sekolah sehingga hampir semuanya belum pulang.
Untuk para guru, jangan harap mereka bisa pulang cepat. Pekerjaan mereka sangat banyak seperti menyiapkan materi pembelajaran hingga tambahan. Jam kerja mereka adalah mulai pukul 07.00 – 16.00 WIB dan kadang bisa sampai lembur.
Beberapa guru yang mengajar ekskul, sibuk menempel kertas di mading sekolah agar anak – anak menuliskan nama mereka di daftar ekskul yang diminati.
Ada Raline, yang menawarkan ekskul design grafis dan editing. Baru menempel saja sudah banyak peminat yang menyerbu. Ada juga Vita yang menawarkan ekskul coding dan juga Gisel yang menawarkan ekskul musik untuk vocal, piano dan gitar. Mereka juga langsung diserbu peminat. Disusul Boy yang menawarkan ekskul youtuber dan podcast, begitu pun dengan guru – guru lainnya.
Karin akhirnya memantapkan diri untuk tetap membuka ekskul market research. Ia yang masih berada di meja kerjanya, sedang mengambil kertas yang baru saja ia print untuk ditempel pada mading sekolah.
“Itu apaan, sayang?” Tanya Irvan sambil melihat kertas yang dipegangnya. “Loh, kok kamu buka pendaftaran?”
Karin menghela nafas sejenak, menceritakan alasannya berubah pikiran, kemudian memberitau kalau temannya Nadine, sudah menyanggupi untuk membantunya jika kondisinya drop. Sudah di acc juga oleh kepala sekolah.
“Lagian Nadine kan sekarang freelance.” Ujar Karin kemudian. “Jadi waktunya fleksibel!”
Irvan mengangguk. “Oh, ya bagus kalau memang ada Nadine aku lega, yang penting dia siap dipanggil mendadak.”
“Iya, Mas. Aku keluar dulu ya.” Pamitnya.
Karin pun akhirnya keluar dari ruang guru. Begitu baru tiba di luar, ia langsung shock terhadap pemandangan yang ia lihat di dekat dinding mading yang begitu chaos. Bagaimana tidak, jika guru baru itu berada disana untuk menawarkan ekskul bahasa Jerman.
Ia bisa melihat guru baru itu dikerumuni oleh para siswi dan dengan sabar ia meladeni satu persatu. Karin pun terus berjalan saja menuju dinding madding, agar pekerjaannya cepat selesai. Ia harus berdesakan diantara kerumunan tersebut.
“Permisi – permisi, yang udah selesai tolong minggir ya.” Sindir Karin.
“Belum bu, lagi antri mau isi form ekskul Bahasa Jerman.” Celetuk salah seorang siswi, padahal ia sedang ikut mengerubungi Alex. Dengan susah payah, ia menempelkan kertasnya pada dinding mading.
“Wah, Bu Karin akhirnya tetap adain ekskul market research?” Celetuk salah seorang siswa.
“Iya, nih!” Sautnya.
Beberapa anak langsung menghambur meski tak sebanyak murid yang mengisi formulir ekskul bahasa Jerman.
“Pak, bapak kan atlit basket kok nggak ngajar ekskul basket juga?” Karin bisa mendengar seorang siswi bertanya demikian.
“Bukannya katanya ekskul basket udah ada guru freelance?” Alex balik bertanya.
Beberapa ekskul yang tak bisa diajar oleh guru internal, memang menggunakan guru freelance, seperti dance, chef, yoga, martial art, muay thai, futsal, renang, personal branding, fotografi dan masih banyak lagi.
“Iya, ada sih.” Saut siswi tersebut. “Cuma kalau bapak yang ngajar kan lebih bagus.”
Karin kembali menerabas kerumunan untuk kembali menuju ruang guru. Namun, tiba – tiba saja…….