“Mas, kita jalan – jalan yuk.” Ajak Karin antusias saat mereka sedang dalam perjalanan pulang. “Ada film baru lho!”
Suaminya itu hanya memandang lurus ke depan dan menjawab malas – malasan.
“Aku kan harus ke kantor.”
“Maksudnya abis dari kantor.”
“Aku capek, mau langsung tidur.” Ketusnya. “Lagian kasian juga Zaskia sama Kayla.”
Karin yang tadinya tersenyum lebar mendadak wajahnya berubah sedih. Maka ia memilih mengalihkan perhatian suaminya dengan bercerita.
“Aku seneng deh, tadi Yasmin, Yunan dan Iqbal mempresentasikan dengan baik ilmu Personal Branding ke anak sekolah lain.” Karin antusias. “Aku jadi merasa bangga aja gitu jadi guru mereka.”
Karin yang tadi posisi duduknya maju kemudian menyandarkan tubuhnya dan lanjut bercerita.
“Kamu ingat nggak sih, aku tuh sempat ragu saat terima tawaran dari Pak Ferry. Maksudnya, aku udah bangun karir susah payah di perusahaan riset pasar global terus aku harus jadi guru, mana saat itu sekolahnya juga belum ada. Terus kamu yakinin aku kalau kerja di WeSchool nggak sia-sia, selain gaji lebih besar juga skill kita tetap terpakai. Udah gitu kamu antusias banget karena itu artinya kita bisa satu kantor. Akhirnya aku mau terima tawaran itu, deh.”
Karin bertanya sekali lagi ke suaminya karena sejak tadi pria itu hanya berwajah datar.
“Kamu ingat, nggak?”
Pria itu menjawab seadanya. “Iya, aku ingat.”
“Oiya, sayang.” Ujar Karin. “Temenin aku kontrol ke dokter Wira, yuk.”
“Kan aku udah bilang kamu atur aja sendiri.” Nadanya masih ketus. “Aku aja abis drop kamu ke rumah harus langsung ke kantor. Sekarang lagi kerjain dua project sekaligus.”
Hatinya langsung teriris tapi ia tak mau menyerah. “Sayang, kalau misalnya aku sakit kan butuh support dari kamu. Butuh ditemenin.”
“Kalau kamu sakit, itu artinya butuh uang lebih banyak untuk ngobatin kamu.” Tegas Irvan. “Makanya aku harus cari uang ekstra. Paling berapa sih yang dicover asuransi?”
“Iya, tapi kan aku punya gaji juga dan masih ngajar ekskul. Aku punya tabungan juga jadi bisa bayar sendiri. Yang aku butuhin sekarang bukan uang, tapi kamu. Lagian ini kan anak kamu juga.” Karin menggoyang-goyangkan lengan suaminya.
“Nggak usah goyang – goyang, ah!” Bentak Irvan sambil menepis tangannya. “Nanti kalau nabrak gimana?”
Karin berusaha menahan air matanya agar tak tumpah karena suaminya tak pernah semarah ini.
“Kemarin kamu udah tanya ke dokter Chandra, kan?” Tanya Irvan mulai melunak. “Katanya gapapa. Kamu juga bilang dia biasa tangani pasien berisiko tinggi, kan? Yaudah, selesai masalahnya! Nggak usah ke Dokter Wira. Kamu yang simple aja dibikin ribet.”
Karin langsung menatap ke luar jendela agar suaminya tak perlu melihatnya menangis. Sambil menyibakkan rambut hitam panjangnya yang tergerai, ia melihat kendaraan yang melintas, motor yang tak tau aturan, orang yang menyebrang seenaknya dan ada juga pedagang kaki lima.
Karin merasa perutnya agak mulas tapi tak berani bilang ke suaminya. Maka ia hanya mengelusnya saja. Ia juga merasakan tendangan dan juga memilih untuk tak bilang.
Mereka kini tiba di jalan yang merupakan area café atau tempat – tempat makan. Setiap sore area itu memang sedikit tersendat. Saat ini mobil mereka pun sedang terkena macet.
“Mas, mau makan nasi padang.” Pinta Karin tiba – tiba sambil menunjuk Rumah Makan Padang di sebelah kiri jalan.
“Bukannya makan di kantin tadi! Delivery aja lah dari rumah. Ibu nanti juga ke rumah, minta aja masakin nasi padang.”
Tiba-tiba Karin melihat sesuatu yang menarik perhatiannya. Mobil sport berwarna merah yang sudah familiar baru datang dan parkir di depan salah satu tempat karaoke.
“Sayang, itu bukannya mobil Alex ya?” Tunjuk Karin.
Ia kemudian menoleh kepada suaminya yang tampak sibuk mengirimkan pesan.
“Sayang, itu mobil Alex kan?” Tanyanya sekali lagi agar suaminya melihat ke arah yang ditunjuknya.
“Ya, kalau ada Alex disini terus kenapa? Itu kan tempat umum.” Jawabnya malas-malasan sambil terus chat.
Karin menoleh kembali ke arah tadi. Matanya semakin terbelalak melihat Adhis yang juga keluar dari mobil Alex.
“Sayang, ada Adhis juga disana!” Pekiknya. “Ngapain Alex bawa Adhis ke tempat karaoke.”
“Apaan, sih?” Sergahnya. “Jangan mulai, deh.”
“Itu…itu kamu lihat kalau nggak percaya!” Karin terus menunjuk – nunjuk agar suaminya melihat.
Belum sempat melihat, Irvan keburu di klakson karena mobil sudah mulai bergerak.
“Tuh, jadi dimarahin mobil belakang kan!” Omelnya kemudian memajukan mobilnya perlahan.