Adhis berteriak histeris. Ia terus menangis meraung – raung diatas ranjang tanpa sehelai benang pun. Pria turunan Jerman yang juga tanpa busana tersebut tak peduli jika gadis kecil itu begitu ketakutan. Ia terus menggagahinya tanpa ampun.
“Kamu relax dan pasrahin aja, sayang.” Bisiknya di telinga gadis itu sehingga membuat gadis itu semakin jijik. “Biar kamu ngerasain nikmatnya bercinta.”
Tentu saja gadis itu semakin histeris ditambah tau – tau pria itu dengan kasar membalikkan tubuhnya dan menghantamnya lagi.
“Ampunnn, Pak!” Gadis itu sudah tak dapat merasakan tubuhnya lagi.
“Kalau kamu ngelawan akan makin sakit.”
Gadis itu akhirnya pasrah dan hanya menangis sesenggukan.
Sedangkan dua tahanan lainnya, Karin dan Yunan sudah kehabisan tenaga mencari cara untuk kabur. Mereka hanya terduduk pasrah di kamar masing – masing dan sudah tak tau lagi bagaimana nasib Adhis sekarang. Alat komunikasi ke kamar Adhis juga sudah terputus.
“Yunan, handphone kamu nggak ada?” Tanya Karin.
Mereka berdua masih terhubung melalui TV portable tadi.
“Nggak ada bu, mereka ambil.” Sautnya sambil menatap kosong ke depan dan menyandarkan tubuhnya di tembok.
Karin menghela nafas panjang. Tentu saja mereka tak sebodoh itu membiarkan Yunan mengantungi ponselnya.
“Tadi Om Reza sempat baca atau balas chat video yang kamu kirim, nggak?”
“Saya nggak cek, Bu. Karena tau – tau kepala saya dipukul. Tapi sudah saya pastikan itu sudah terkirim.”
Mudah – mudahan saja Reza sempat melihat sebelum orang – orang Alex menghapusnya.
“Bu, saya baru kepikiran, kenapa kita nggak pakai kamera jadul aja ya buat ngerekam kelakuan bejatnya dia?” Yunan terkekeh. “Itu lho bu yang masih pakai kaset sama roll film. Itu kan nggak bisa di hack.”
“Sama saja.” Saut Karin. “Mereka akan tau, terus curi kamera kita dan dirusak. Saya yakin salah satu dari mereka itu bertugas di ruang kontrol CCTV sekolah. Alex nggak sendiri.”
Tiba – tiba ia merasakan perutnya keram kemudian bayinya menendang – nendang lagi. Karin pun tersenyum sambil mengelus perutnya.
“Sayang, semuanya akan baik – baik saja.” Ia menenangkan bayinya. “Nanti kita pulang lagi ke rumah, sama papa dan kakak – kakak ya, sayang.”
Dirinya baru teringat kalau sekarang waktunya makan siang dan juga minum vitamin.
“Siapa saja yang disana, tolong dong!” Teriak Karin. “Saya haus dan juga harus kasih makan untuk calon bayi saya. Saya juga harus minum vitamin. Vitaminnya ketinggalan di tas saya tadi di sekolah.”
Sepi tak ada jawaban.
“Hallo!!!!!!!” Panggil Karin sekali lagi.