Reza diikuti oleh Irvan, Bu Nana serta beberapa petugas kepolisian, mereka semua berjalan cepat menuju area rumah kaca sekolah. Mereka berjalan melewati jalanan sempit persis samping rumah kaca tersebut sambil celingak celinguk barangkali saja menemukan petunjuk.
“Tiga orang periksa ke dalam!” Perintah Reza kepada anak buahnya.
“Siap komandan.” Tiga orang berseragam langsung memasuki rumah kaca sedangkan sisanya berjalan terus.
Irvan tadi tak kepikiran memeriksa sampai ujung. Tibalah juga akhirnya mereka di area belakang persis rumah kaca.
“Tolong periksa area sini.” Perintah Reza.
“Siap komandan!”
Tanpa sadar Irvan tiba – tiba menginjak sesuatu. Ia pun mengernyitkan dahi, melihat kebawah dan mengangkat sepatu pantofel coklatnya. Matanya terbelalak begitu melihat apa yang diinjaknya itu. Ia membungkukkan badannya, memungut benda hitam kecil itu dan mengacung-acungkannya kepada yang lain.
“Ini jepit rambut Karin.” Teriaknya lantang.
Sontak perhatian lainnya terfokus pada Irvan. Seorang petugas pun menghampiri.
“Taruh sini pak, untuk kami jadikan barang bukti.” Ujarnya sambil membuka plastik di depannya.
Irvan pun menurutinya dengan memasukkan benda mungil tersebut ke dalam plastic bag.
“Kalau ada yang menemukan sesuatu, jangan dipegang ya!” Perintah Reza. “Langsung beritau kami.”
Petugas pun tampak sibuk menyisir area tersebut. Mereka mencari sidik jari, jejak kaki atau apapun.
“Ini pintu keluar terdekat yang nggak kelihatan banyak orang dimana?” Tanya Reza.
“Disitu.” Bu Nana menunjuk sebuah pintu kecil yang jaraknya kurang lebih 200 meter dari situ. Tidak ada yang ngeh kalau tak benar – benar diperhatikan.
Reza langsung memberi perintah kepada anak buahnya.
“Semuanya, periksa area sekitar situ dan kalau ada CCTV rumah warga minta izin untuk periksa.”
“Siap komandan.”
****************
Sudah lima jam mereka semua menunggu di ruang auditorium. Tak ada satu pun yang boleh meninggalkan gedung sekolah. Mereka hanya diizinkan keluar jika ingin ke toilet, makan dan minum di kantin. Itupun melalui penjagaan yang sangat ketat.
Mereka semua sejak tadi diinterogasi oleh polisi baik berkelompok maupun satu persatu dan wajah – wajahnya tampak lelah. Hampir semua berkeluh kesah dan mengumpat Alex.
“Nggak nyangka ya si Alex ternyata gitu.” Celetuk Wina guru agama islam saat sedang berkumpul dengan guru – guru lainnya.
“Kita selama ini mengabaikan ucapan Karin.” Sesal Boy.
Para guru lain tampak menghela nafas.
“Alex padahal sering main sama kita – kita tapi gue nggak lihat ada sesuatu yang mencurigakan.” Ujar Ernest lemas.
“Yah, kita kan baru kenal.” Celetuk Arya.
“Iya.” Timpal Acho. “Tapi kita berlima yang paling dicecar sama polisi. Mukanya itu tersirat banget gitu loh, kalau kita seolah – olah komplotannya Alex.”
“Apartemennya Alex dimana juga kita nggak tau!” Celetuk Uus.
“Lo nyadar nggak, sih?” Celetuk Boy tiba – tiba. “Tiap kita mau main ke apartemennya pasti ada aja alasannya.”
“Lagian nggak salah apa? Gue? Pedofil?” Omel Acho sambil tertawa geli. “Gue punya anak kali!”
Mereka semua lagi – lagi menghela nafas.
Ernest melirik ke arah Irvan yang duduk agak jauh dari mereka sedang menyendiri. Sejak tadi ia hanya menangis dan terus memegangi kepalanya.