Adhis yang sudah tak berdaya hanya mampu terkapar di atas ranjangnya. Ia sudah mengalami pendarahan berkali – kali karena aksi bejat pria hidung belang tersebut. Tubuhnya juga penuh luka – luka memar. Ia sudah tak sanggup lagi memindahkan tubuhnya. Di apartemen tersebut ada pelayan yang membersihkan tubuhnya setiap kali Alex ingin bersenggama.
“Mama.” Gumamnya sambil menitikkan air mata.
Pikirannya melayang ke dua bulan silam saat guru tampan itu pertama kali menginjakkan kakinya di We School. Ia pun tak menyangka bahwa inilah akhirnya. Andai bisa memutar waktu, ia tak akan genit kepada guru yang menghancurkan masa depannya, menghancurkan mimpi besarnya menjadi dokter. Air matanya terus menetes.
“Yunan.” Ia malah menggumamkan nama mantannya dan teringat peristiwa tadi.
Ia bergidik dan jijik sendiri jika mengingat momen saat Yunan harus menontonnya tadi. Gadis yang kini mengenakan piyama putih tersebut, kini baru sadar kalau pria itu begitu tulus. Ia menyesal kenapa kemarin memutuskannya.
Mendadak dirinya teringat celetukan guru predator tadi. Alex dengan jelas mengatakan kalau dirinya tak mengikuti permintaannya, maka akan dikirim ke Singapura. Entah apa maksudnya. Ia mencoba bangkit dari kasur.
“Auwwww.” Tubuhnya begitu nyeri, maka ia pun hanya pasrah tidur di atas ranjang.
Ia pun frustasi dan menangis begitu kencang. Sayangnya tak ada yang mendengar.
Yunan yang masih persis di sebelah kamarnya hanya melamun. Ia masih shock terhadap apa yang dialaminya barusan.
Sedangkan Karin, hanya mondar mandir di kamar setelah menelepon suaminya. Ia berharap mudah – mudahan tim penyelamat segera datang.
Alex, sedang duduk – duduk santai di ruangan kerjanya lantai satu dan sedang bertelepon.
“Tenang aja, bos! Kiriman tetap lancar seperti biasa.” Ujarnya terkekeh kepada lawan bicaranya.
“Kapan nih gue bisa terima uangnya?” Tanyanya lagi.
“Oke deh. Nanti gue info lagi ya.”
Alex pun kemudian memutus sambungannya. Tak lama ia mendengar suara ketukan pintu kemudian pintu terbuka.
“Lex.” Panggil seorang wanita bertubuh tinggi berkulit putih dan rambut terkuncir di ambang pintu.
“Eh, masuk Lau.” Alex memberi isyarat agar wanita tadi masuk.
Wanita itu langsung masuk, menutup pintu dan berjalan mendekat menuju meja kerja pria itu dengan sangat kesal.
“Kok lo nggak info gue kalau rencananya jadi gini?” Omelnya.
“Lo gimana sih, Lau?” Saut Alex kesal. “Kita kan buronan. Ya, lo mestinya tau kalo kita harus improvisasi! Semua pelabuhan, bahkan jalur darat apalagi udara, penjagaan semakin ketat. Udah lo percaya aja sama gue. Cuma ini satu-satunya cara agar kita bisa kabur ke luar negeri!”
Laura mendengus kesal.
“Cuma itu juga caranya kita ngelindungin orang – orang kita.” Lanjut Alex lagi. “Jadi bisnis kita tetap jalan.”