Seorang pria berusia 60-an, bertubuh gemuk, berkulit putih, memakai kaca mata dengan rambut penuh uban langsung memasuki lobby We School Senior High. Kedatangannya menjadi pusat perhatian para wartawan yang sudah tak terhitung jumlahnya.
“Pak Ferdy, boleh minta waktunya sebentar dong!” Teriak seorang wartawan perempuan.
“Pak, gimana perasaannya begitu tau anak bapak diculik?” Tanya seorang wartawan pria lainnya tanpa perasaan.
Pria usia senja yang memakai pakaian batik coklat berlengan pendek tersebut enggan menggubris dan hanya terus berjalan masuk. Tiba – tiba saja ia melihat menantunya dari kejauhan diikuti oleh beberapa guru dan polisi.
“Bapak.” Menantunya itu berteriak melambaikan tangan sambil berlari kecil ke arahnya.
Ayah Karin juga berjalan cepat. Mereka akhirnya berdiri berhadapan dan nafas Irvan tersengal – sengal.
“Perubahan rencana, Pak.” Ujar Irvan cepat. “Penculik minta langsung ketemu di pelabuhan. Kita jalan sekarang.”
“Loh, katanya polisi mau selamatin Karin?”
Irvan menggeleng lemas. “Gagal, Pak. Nanti Irvan ceritain di jalan.”
“Yaudah, kamu ikut mobil saya aja.”
“Iya pak, yuk!” Irvan merangkul ayah mertuanya hendak mengajaknya pergi.
Namun, ayah Karin langsung menghentikan langkahnya begitu melihat wajah guru – guru lain terutama sang pemilik sekolah. Ia langsung menghampiri Ferry Sutanto yang sebenarnya hampir tiba di depannya.
“Pak Ferry.” Panggil ayah Karin.
Sang pemilik sekolah itu langsung berjalan lebih cepat, berdiri persis di depannya kemudian tersenyum. Bu Nana dan Cinta berdiri di belakang Pak Ferry sedangkan para guru dan murid yang tersisa berjalan terlebih dahulu dan menunggu di lobby.
“Pak Ferdy, apa kabarnya? Sehat?” Tanya sang pemilik sekolah ramah.
“Menurut anda gimana? Apa saya baik – baik saja?” Ketusnya. Suaranya yang menggelegar sontak menjadi pusat perhatian.
Irvan berusaha menenangkannya. “Pak, kita harus jalan sekarang jemput Karin.”
“Anda ini gimana kok bisa rekrut seorang kriminal?” Masih dengan suara ayah Karin yang menggelegar.
Semuanya bergidik ketakutan.
“Maaf pak tapi kami……”
Ayah Karin langsung memotongnya.
“Saya ingat betul, anda empat tahun yang lalu datang berkali – kali ke anak dan mantu saya, bujuk mereka untuk ngajar disini. Padahal mereka di perusahaan lamanya sudah punya jabatan, tapi akhirnya milih jadi guru.”
Ayah Karin jeda sejenak dan mereka semua hanya diam.
“Anak saya begitu memilih kerja disini malah kondisinya terancam. Saya juga jadi dibawa – bawa.”
“Mohon maaf, Pak. “ Sesal Pak Ferry. “Ini benar – benar di luar kendali kami. Saya janji nanti akan menebus semuanya.”
Reza yang baru kembali dari Lavender Palace, menghampiri mereka yang sedang ribut – ribut.
“Ada apa, nih?” Ketus Reza.
“Reza.” Panggil ayah Karin yang sudah lama mengenal sahabat anaknya itu. “Kata Irvan kamu gagal selamatin Karin? Kok bisa?”
“Karin ketahuan saat telepon Irvan. Mereka yang diculik, sudah dibawa pergi lagi sama Alex. Alex minta kita langsung ke pelabuhan.”
“Astaga.” Ujar ayah Karin lemas.
“Maaf, Om.” Lanjut Reza tegas. “Bukannya saya bermaksud nggak hormat, tapi nggak perlu marah – marah lah disini!”
Semuanya langsung mengernyitkan dahi.
“Kalau om lihat rekaman CCTV penthouse itu, Karin yang paling diperlakukan dengan baik.” Lanjut Reza kesal. “Sedangkan keponakan saya…..”