Mobil iring – iringan akhirnya tiba di pelabuhan. Mereka berhenti di jalan antara lapangan penumpukan container dan dermaga area pelabuhan. Para polisi dengan cepat menuruni mobil diikuti oleh Irvan dan juga ayah Karin.
Namun guru – guru We School, mereka memilih untuk mengintip dari lapangan penumpukan container. Jaraknya kurang lebih 500 meter dari rombongan polisi.
Para wartawan yang ikut juga mengambil posisi masing – masing untuk merekam.
“Alex nanti kesini?” Tanya Raline kepada guru lainnya.
“Ya iyalah emang mau dimana lagi.” Saut Rio.
“Ya biasa aja nggak usah marah – marah!” Balas Raline.
“Psssttttt.” Wina mendiamkan mereka. “Bukan waktunya ribut.”
Mereka pun terdiam sambil terus mengintip.
“Kayaknya gapapa deh kita kesana.” Tunjuk Vita ke arah rombongan polisi. “Emang kalau ketahuan mau dimarahin gitu? Toh, kita juga udah terlanjur disini.”
“Nanti aja lah lihat sikon dulu.” Usul Sammy.
Nadine yang bergabung dengan mereka melihat sekeliling. Ia bisa melihat para polisi bersiaga di posisi masing – masing dengan senjata lengkap dan rompi anti peluru. Ada juga penembak jitu diatas sana.
Tiba – tiba aja ada suara anak – anak remaja yang mengagetkan mereka dari belakang.
“Bapak….ibu.”
Para guru yang sedang sembunyi di balik container itu langsung tersentak kemudian menoleh ke belakang.
“Kalian ngapain disini?” Semprot Bu Nana.
“Ini terlalu berbahaya lho buat kalian!” Pak Ferry tak kalah panik.
Yah, mereka adalah geng Adhis, geng Natasha dan juga geng Yunan.
“Bapak sama ibu kan juga nggak dikasih izin kesini.” Saut Natasha enteng.
Para guru itu pun geram.
“Iya. Alasan kita disini ya sama kayak ibu dan bapak.” Timpal Ranty.
“Yaudah….yaudah.” Sergah Cinta. “Kalian jangan bikin ulah ya, nanti kita lagi yang disalahin sama orang tua kalian.”
“Oke.”
Para anak – anak itu juga langsung mengambil posisi untuk bersembunyi.
Sementara jauh di depan mereka suasana tampak tegang menunggu kedatangan Alex dan juga para sandera.
“Siaga semuanya, mereka hampir tiba.” Ucap Reza lantang.
Benar saja beberapa saat kemudian sekitar sepuluh mobil van hitam pun datang. Waktu kini menunjukkan pukul 6 sore dan sudah mulai gelap. Para polisi pun sudah siap dengan senjatanya masing – masing.
Iringan mobil van hitam itu kemudian berhenti depan mereka. Terlihat beberapa bodyguard Alex yang juga memegang senjata dan menggunakan rompi anti peluru pun keluar satu persatu. Para polisi semakin waspada dan warga sipil makin ketakutan.
“Gila serem – serem amat mukanya!” Celetuk Boy.
“Psssttttttt!”
Seseorang yang ditunggu – tunggu akhirnya keluar juga.
“Hallo semuanya!” Seringainya. “Ketemu lagi kita.”
“Mana para sandera?” Teriak Reza sambil menodongkan pistolnya.
Alex yang sudah berganti baju dengan polo shirt biru dongker dan juga celana jeans itu hanya terus – terusan menyeringai.
“Kita bikin simple aja deh!” Tegas Alex, kemudian melihat sosok ayah Karin yang sedang menatapnya tajam.
Alex langsung melambaikan tangan ke arah pria tua tersebut.
“Hallo, Om! Salam kenal.” Sarkasnya.
“Mana putri saya?” Bentak ayah Karin tanpa tedeng aling - aling. Irvan juga menatap Alex penuh amarah.
“Wohooo!!!” Alex malah terpingkal - pingkal. Membuat yang lainnya semakin geram.
Alex masih tak mau berhenti tertawa.
“Mana Karin!” Kini Irvan yang berteriak.