We Were Never Really Over

Desy Cichika
Chapter #1

Akhir yang Menjadi Awal

"Aku udah ngajuin gugatan cerai."

Nazharina berdiri di ambang pintu, dengan senyum teduh yang lebih mirip tanda menyerah daripada bahagia.

Kata-kata itu menghantam Arian lebih keras dari yang ia kira. Lelaki itu hanya terdiam, jemarinya mengepal, seakan berusaha mengikat sesuatu yang sejak lama tak pernah benar-benar ia genggam.

"Kenapa?" Itu satu-satunya kata yang keluar, meski ia tahu jawabannya.

Nazharina menarik napas panjang. "Karena aku udah capek. Karena aku sadar, aku nggak pernah benar-benar jadi bagian dari hidup kamu."

Sejenak hening.

Dan di situlah, untuk pertama kalinya, Arian merasa hatinya benar-benar sakit.

Pernikahan mereka lahir dari sebuah wasiat. Sepuluh tahun lalu, saat ibunya—Erina—terbaring menjelang ajal setelah kecelakaan yang merenggut suaminya, ia menggenggam tangan Arian dan berbisik, “Nikahi Nazharina. Dia bukan sekadar adik buatmu. Dia rumah yang akan menjagamu saat Mama udah nggak ada.”

Nazharina, gadis yatim piatu yang diadopsi keluarga mereka sejak berusia dua belas tahun, tumbuh di bawah atap yang sama. Bagi Arian, ia sekadar beban tanggung jawab yang melekat pada hidupnya. Bagi Erina, ia adalah cahaya yang menenangkan di tengah gelap. Namun bagi Nazharina sendiri, Arian adalah dinding kokoh yang tak pernah memberinya jalan masuk.

Arian menjalankan pernikahan itu dengan kaku. Ia melihat perhatian kecil Nazharina—teh hangat, jaket rapi, ruang kerja bersih—namun tetap bungkam. Dan diam itulah yang perlahan membunuh kebahagiaan mereka.

Kini, di hadapan Arian yang membisu, semua kenangan itu menyeruak, hanya untuk menegaskan betapa sia-sianya belasan tahun kebersamaan mereka.

Hari itu, perceraian resmi diputuskan. Dengan sebuah koper kecil, Nazharina sempat mengulurkan tangan sebagai salam perpisahan.

 "Terima kasih atas waktumu, Arian. Akhirnya selesai juga. Boleh kita berjabat tangan? Mungkin ini pertemuan terakhir."

Tangannya terulur. Lama. Tapi Arian hanya diam.

Beberapa detik kemudian, Nazharina menariknya kembali, pura-pura menyeka hidung. Ia tersenyum kecil. “Ternyata nggak boleh.”

Nazharina berbalik badan, melangkah pergi.

Sebelum masuk mobil, ia sempat menoleh ke arah balkon—tempat di mana ia pernah menanam harap. Tempat Arian selalu berdiri dengan sunyi yang tak pernah mengundangnya masuk.

“Selamat tinggal,” ucapnya dalam hati.

Mobil pun melaju. Meninggalkan rumah. Meninggalkan kenangan.

Dan Arian tetap berdiri di sana. Menatap kosong ke jalan yang semakin sunyi.

Kini… Arian bertanya-tanya, apakah ia baru saja kehilangan sesuatu yang sangat berharga dan tak akan pernah bisa ia miliki lagi?

Tapi saat itu juga sebuah tekad muncul dari dalam dirinya.

Ia akan memperbaiki semua... dengan caranya.

“Nazh... aku akan pastikan kau kembali lagi ke rumah ini,” gumamnya pada diri sendiri. 

Lihat selengkapnya