We Were Never Really Over

Desy Cichika
Chapter #2

Dia Mantan Suamiku

Nazharina menarik napas panjang sebelum mengetuk pintu. Ruangan itu masih sama seperti yang ia ingat—rapi, minimalis, terlalu cozy. Bedanya kini, pria yang duduk di balik meja itu adalah Arian, sosok yang pernah menjadi bagian dari hidupnya. 

Arian sedang sibuk meneliti berkas di tangan, lalu mengangkat kepala ketika mendengar langkah mendekat. Kemeja putih dan dasi hitam membingkai posturnya dengan sempurna. Tatapan itu singkat, tapi cukup lama untuk membuat jantung Nazharina berubah ritme.

Nazharina memasang wajah datar, menutupi rasa gugup. Ini pekerjaan, ia mengingatkan dirinya. Ia tidak boleh goyah hanya karena pria itu kini jadi atasannya. Arian bukan lagi suaminya, melainkan masa lalu yang telah ia kubur.

Namun, Arian tetaplah Arian—tenang, formal, tapi terlalu dalam untuk diabaikan.

Ingatannya langsung melompat ke lobi pagi tadi, saat Peter dari HRD memperkenalkan mereka di depan staf.

“Pak Arian, perkenalkan... ini Mbak Nazharina, sekretaris pribadi dari GM sebelumnya.” 

Arian tidak berkata apa-apa. Hanya menatapnya, lurus, tanpa berkedip. Tatapan itu sama sekali tidak memberi celah untuk lari.

“Silakan bersalaman,” kata Peter setengah berbisik pada Nazharina. Seolah mengingatkan sebuah attitude antara bawahan pada atasannya.

Tentu saja Peter tidak tahu. Tidak ada yang tahu bahwa pria di hadapannya ini adalah mantan suaminya.

Tangannya tetap berada di samping tubuh. Ragu. Seketika, kenangan lain melintas di benaknya.

Hari ketika ia berusia dua belas tahun—ketika pertama kali bertemu Arian setelah diadopsi oleh Erina dan Marco. Atau momen saat ia berpamitan, meninggalkan rumah megah itu setelah perceraian mereka diputuskan secara resmi.

Arian tak pernah mau menjabat tangannya.

Dan kini, di hadapan begitu banyak mata yang memperhatikan, Nazharina sadar... ia tidak punya pilihan lain.

Perlahan, jemarinya terangkat. Ragu, nyaris menggigil.

Dengan hati yang sudah lebih dulu dipenuhi kepastian bahwa Arian tak akan membalasnya, ia akhirnya mengulurkan tangan.

Namun, yang terjadi berikutnya membuat Nazharina terkejut.

Arian menyambut tangannya. Dan menggenggamnya dengan hangat.

Nazharina menahan napas. Sesuatu yang aneh berdesir di dalam dirinya.

Untuk pertama kali, sejak mereka saling mengenal, ia merasakan langsung sentuhan pria itu.

Tangan Arian hangat. Kokoh. Tidak seperti yang ia bayangkan—dingin dan penuh perhitungan.

Dan lebih dari itu, tatapan Arian... berbeda.

Tatapannya tidak lagi datar. Ada sesuatu di sana—dan itu membuat napas Nazharina tersendat.

Nazharina buru-buru menarik tangannya sebelum debaran aneh itu semakin menguasai dirinya. Ia berusaha mengatur napas dan menenangkan pikirannya.

Kini, di ruangan GM ini, ia benar-benar berhadapan langsung dengan Arian dan memulai hubungan kerja secara profesional.

Ia menegakkan bahu, menatap pria di hadapannya. Ini pekerjaan. Hanya pekerjaan.

Lihat selengkapnya