Nazharina menekan pelipisnya. Minggu pertama kerja, dan ia sudah merasa seperti karakter utama dalam permainan yang dikendalikan oleh Arian.
Yang paling menyebalkan, ia bahkan tak bisa berbuat apa-apa.
Belum sempat menenangkan diri, layar ponselnya menyala.
Arian: [Sibuk?]
Nazharina menatap layar lama, menyesal sudah memberi nomornya pagi tadi.
Belum sempat membalas, pesan kedua masuk.
Arian: [Kamu belum bosan bolak-balik ke ruanganku, kan?]
Alisnya berkerut. Ini... lelucon?
Pesan ketiga menyusul.
Arian: [Aku ada pertanyaan penting.]
Nazharina akhirnya mengetik balasan.
Nazharina: [Apa?]
Beberapa detik kemudian, balasan datang.
Arian: [Makan siang favoritmu masih ayam teriyaki?]
Tangannya berhenti di udara. Nafasnya nyaris tertahan.
“Ada yang menarik?” suara di belakang membuatnya terlonjak.
Nazharina buru-buru mengunci ponsel. Tapi Maxime sudah lebih dulu menangkap ekspresinya.
Sial. Sejak kapan makhluk halus ini berdiri di situ?
“Ohh…” Maxime menyeringai lebar. “Kayaknya ada yang lagi menggali kenangan lama.”
Nazharina mendesah, menahan diri agar tidak melempar sepatu hak tumitnya ke kepala Maxime.
Tak disangka, minggu pertamanya di bawah kepemimpinan Arian baru saja berubah menjadi lebih rumit dari yang ia duga.
***
Nazharina berusaha fokus pada pekerjaan, meski pikirannya terus dihantui oleh tingkah laku Arian. Entah sejak kapan pria itu jadi atasan yang hobi memanggilnya untuk hal-hal kecil.