Di sebuah lounge khusus staf di hotel mewah itu, Arian sedang duduk santai bersama Maxime. Mereka menikmati jeda makan siang yang langka, sesuatu yang jarang bisa dilakukan mengingat betapa sibuknya posisi mereka di hotel ini.
Arian, dengan kemeja lengan panjang yang digulung hingga siku, duduk dengan ekspresi tenang, menyesap kopinya perlahan. Di sebelahnya, Maxime yang lebih santai, bersandar di sofa dengan satu kaki disilangkan, menikmati minuman dinginnya.
“Jadi,” kata Maxime sambil memainkan sedotan di gelasnya, “gimana rasanya kerja satu tempat sama—”
Arian meliriknya tajam. “Jangan mulai, deh.”
Maxime mendengus geli. “Oh, gue harus mulai, dong. Tahu nggak kenapa? Karena ekspresi lo tiap kali liat dia tuh... kayak cowok yang balik ke masa SMA dan baru sadar kalau dia masih naksir sama mantannya.”
Arian tetap menyesap kopinya dengan tenang, tapi Maxime tidak menyerah.
“Serius, gue belum pernah ngeliat lo se-salah tingkah ini. Lo itu Arian Laurent, pengusaha muda dengan segudang pengalaman. Tapi begitu berhadapan dengan mantan istri, lo langsung gagap.”
Arian mendesah, meletakkan cangkirnya. “Gue nggak gagap.”
“Masaaa’...? Jadi lo nggak inget waktu pagi tadi nggak sadar betulin dasi pas dia lewat?”
Arian mengernyit. “Itu refleks.”
“Atau saat lo pura-pura sibuk dengan HP... cuma biar nggak ketahuan lagi ngeliatin dia dari jauh?”
Arian berdeham pelan, tapi Maxime semakin gencar. “Dan yang paling epik… waktu lo ngangkat cangkir kosong ke bibir karena terlalu fokus mandangin dia?”
Arian memejamkan mata, lalu menghela napas panjang. “Max.”
Maxime terkekeh. “Apa?”
“Pergi kerja sana.”
“Gue lagi kerja, tau. Ngawasin bos gue yang tingkahnya mulai aneh.”
Arian mengabaikan ejekan itu, tetapi Maxime masih belum selesai. “Eh, ngomong-ngomong... gue tadi ngeliat ada anak magang yang lagi coba deketin mantan istri lo itu.”
Arian langsung menoleh. “Siapa?”
Maxime menahan tawa. “Liat kan? Padahal gue belum sebutin namanya, lo udah kebakaran jenggot. Mau langsung mecat? ”
Arian mendengus. “Gue nggak sembarangan mecat orang.”
“Tapi lo pengen tau.”
Arian tersenyum kecut. “Gue cuma pengen pastiin staf hotel nggak ada yang ganggu rekan kerja gue.”
“Rekan kerja?” Maxime mengangkat alis. “Lo yakin cuma ngeliatnya sebagai rekan kerja?”
Arian memilih untuk tidak menjawab.