We Were Never Really Over

Desy Cichika
Chapter #5

Hanya Saat Kita Berdua

Arian masih tidak bereaksi, hanya menyesap kopinya dengan ekspresi datar.

Shelby, merasa sudah cukup menyampaikan pesan, akhirnya bangkit dari kursinya. “Saya yakin bapak adalah orang yang bijaksana, Pak Arian. Saya cuma ingin memastikan Bapak membuat keputusan yang tepat.”

Maxime tersenyum tipis. “Udah selesai?” tanyanya santai.

Shelby mengangguk. Dan dengan senyum penuh kemenangan, ia melangkah pergi, meninggalkan Arian dan Maxime dalam keheningan yang sarat makna.

Begitu Shelby benar-benar keluar dari lounge, Maxime langsung meledak dalam tawa tertahan. Ia memukul meja pelan, bahunya terguncang.

“Botak, tua, dan jelek, hah?” katanya sambil berusaha mengatur napas. “Kalau kaya raya, gue setuju. Tapi yang itu… ya ampun, gue nggak habis pikir… Atau jangan-jangan Nazharina emang punya mantan suami lain yang gue nggak tahu?”

Maxime tertawa puas.

Arian hanya bisa cemberut. Ia menatap kosong ke cangkir kopinya seolah mencari jawaban di dalamnya.

Maxime masih tersenyum geli. “Gue tahu kalau cewek-cewek emang suka bersaing. Tapi gue nggak nyangka kalau mereka segila itu cuma biar bisa menang satu langkah.”

Arian mendesah pelan. “Nazharina itu nggak pernah nyari masalah sama orang. Jadi gue nggak suka ada yang berusaha jelek-jelekin dia.”

Maxime mengangkat alis, wajahnya lebih serius kali ini. “Jadi... bagusnya kita apain staf cewek yang tadi?”

Arian mengangkat kepala, tatapannya tajam. “Biarin aja dulu. Cuma gue mau lo pastiin dia nggak sembarangan nyebar gosip murahan kayak gitu tentang Nazharina.”

Maxime tersenyum tipis. “Dengan senang hati, Bos.”

***

Nazharina melangkah masuk ke ruang kerja Arian dengan membawa beberapa berkas di tangan. Gerakannya teratur, suaranya tenang, wajahnya seperti biasa—profesional. Namun, Arian bisa melihat sesuatu yang berbeda.

Ada jarak yang tak kasat mata di sana.

Gesturnya lebih kaku, nada suaranya lebih datar, dan matanya enggan menatap terlalu lama.

Arian bersandar di kursi, meneliti wajah wanita itu dalam diam.

“Ada sesuatu yang ganggu pikiran kamu?” tanyanya akhirnya.

Nazharina menggeleng pelan. “Nggak ada. Semuanya baik-baik aja.”

Ia meletakkan berkas di meja, menyusunnya rapi seolah ingin mengakhiri pembicaraan.

Arian tidak langsung menanggapi. Ia menyilangkan tangan di dada, menunggu. Diamnya terasa seperti dorongan halus agar Nazharina bicara lebih jujur.

Dan benar saja—beberapa detik kemudian, Nazharina menghela napas.

“Aku cuma mikir,” katanya perlahan, “gimana kalau aku berhenti aja kerja di sini?”

Arian menegakkan tubuh. Matanya langsung mengamati wajah Nazharina, berusaha memastikan apakah ia serius.

“Kamu ingin mengundurkan diri?” suaranya menurun. “Ini karena gosip itu, ya?”

Nazharina tersenyum kecil, tapi senyum itu dingin. “Bukan. Bukan karena itu.”

“Kalau bukan karena itu, lalu kenapa?”

Nada Arian lebih tajam, terdengar seperti seseorang yang takut kehilangan.

Nazharina menatapnya sejenak sebelum mengalihkan pandangan.

Lihat selengkapnya