Seiring waktu, perubahan Arian makin nyata — dari sekadar mencari alasan agar Nazharina sering ke ruangannya, kini ia tak ragu menunjukkan sisi posesifnya di depan banyak orang.
Ia menegur pilihan pakaian kerja yang menurutnya terlalu mencolok meski masih standar kantor.
Pria itu menatapnya dari atas ke bawah dengan pandangan tajam saat melihat Nazharina mengenakan dress selutut berwarna biru tua yang dipadukan dengan blazer putih. Potongan dress-nya pas di tubuh, tidak ketat, tapi cukup menonjolkan siluetnya dengan elegan.
“Ganti bajumu,” katanya tanpa basa-basi.
Nazharina mengerutkan dahi. “Apa?”
“Ganti bajumu,” ulang Arian, suaranya lebih rendah. “Sekarang.”
Maxime yang sedang sibuk dengan laptopnya langsung menoleh dengan minat tinggi.
Nazharina menatap Arian tidak percaya. “Ada yang salah dengan pakaianku?”
“Ya,” jawab Arian cepat. “Itu terlalu menarik perhatian.”
Nazharina memutar bola matanya. “Arian, ini cuma dress biasa. Aku masih pakai blazer.”
“Itu tetap terlalu menarik perhatian.”
Nazharina menyilangkan tangan di dada. “Bukannya aku bebas pake apa aja asal sesuai dengan aturan kantor?”
Arian menatapnya sebentar, lalu bersedekap. “Aturan bisa diubah.”
Nazharina mendesah frustrasi. “Arian, aku nggak akan ganti bajuku cuma karena kamu bilang kayak gitu.”
Baru saja ia akan berbalik menuju mejanya, Arian tiba-tiba berkata dengan nada dingin, “Kalau gitu, kau kerja di ruanganku hari ini.”
Nazharina berhenti melangkah dan menoleh dengan ekspresi tidak percaya. “Apa?”
“Kalau kamu nggak mau ganti baju, seenggaknya aku bisa pastiin nggak ada yang ngeliat kamu terlalu lama.”
Maxime yang menyaksikan adegan itu hampir tersedak kopinya. Ia buru-buru menutup mulut untuk menahan tawa, tapi ekspresi geli di wajahnya tidak bisa disembunyikan.
Nazharina memandang Arian dengan tatapan penuh protes. “Kau serius?”
Arian mengangguk santai, seolah itu hal paling masuk akal di dunia. “Aku serius.”
Nazharina memijit pelipis. “Kamu nggak bisa terus ngatur aku sesuka hatimu, Arian.”
Arian menaikkan satu alis. “Oh, tapi aku bisa.”
Nazharina membuka mulut untuk membalas, namun suara Maxime tiba-tiba terdengar.
“Oke, ini gila. Tapi gue harus ngakuin, level posesif lo makin kreatif, Arian.”