We Were Never Really Over

Desy Cichika
Chapter #7

Kerja, atau Dikerjain?

Nazharina berbalik, menatap tajam. “Aku udah bilang, jangan ikut campur apa pun yang aku lakukan di kantor ini. Kita nggak punya hubungan pribadi lagi, Arian.”

Arian menyandarkan diri di pintu, tak langsung menjawab. Pandangannya dalam dan sedikit berat.

“Aku tahu. Tapi bukan berarti aku bisa diem aja liat kamu terlalu akrab sama cowok lain, apalagi di depan aku.”

“Lucu banget. Sekarang kamu mau ngatur siapa yang boleh dekat sama aku?” Nazharina melangkah ke meja kerjanya, menaruh map dengan keras. “Aku nggak butuh persetujuan kamu.”

“Aku nggak tahan ngeliatnya.”

Nazharina menoleh tajam. “Itu bukan urusanku lagi.”

Arian mendekat beberapa langkah. Suaranya rendah namun dalam, seperti nada orang yang menahan emosi terlalu lama.

“Kenapa kamu manggil aku Arian? Kenapa nggak ‘Kak Arian’, kayak biasa? Sekarang cuma ada kita berdua kan?”

Nazharina mengerutkan dahi, tidak menyangka pertanyaan itu muncul. “Karena aku lagi marah. Kamu bener-bener nyebelin, tau nggak? Karena kamu—“

“Aku tahu,” potong Arian cepat. “Kamu selalu panggil aku kayak gitu tiap kali marah. Tapi nggak tahu kenapa... aku tetap suka.”

Ia kini berdiri hanya sejengkal dari Nazharina. Wanita itu hendak berjalan melewatinya menuju pintu, tapi Arian menangkap pergelangan tangannya. Gerakan itu lembut, tidak menyakitkan, tapi cukup kuat untuk membuatnya berhenti.

“Arian...” suaranya pelan, mengandung peringatan.

Namun Arian tidak bergeming. Tangannya meluncur ke lengan atas Nazharina, jari-jarinya menyusuri kain blus yang halus. Ia mendekat lebih jauh, hingga tubuh mereka nyaris bersentuhan.

“Kamu benci aku?” bisiknya, suaranya nyaris seperti desahan.

Nazharina hendak menarik diri, tetapi langkahnya tertahan ketika wajah Arian semakin dekat. Napasnya hangat menyentuh pipinya. Aroma maskulinnya yang khas membungkus ruang di antara mereka. Matanya terpaku pada wajah itu. Wajah yang tak pernah ia sentuh dan ia cium, namun pernah ia rindukan.

Jantungnya berdetak tidak beraturan.

“Arian… jangan kayak gini,” katanya pelan.

“Kenapa nggak boleh?” Arian membalas, matanya gelap namun takarannya terjaga. “Kalau benar kamu nggak ada rasa apa pun, kenapa diem aja waktu aku pegang kamu kayak gini?”

Tangannya kini menyentuh sisi wajah Nazharina, ujung jarinya meluncur pelan dari pelipis ke dagu. Ia tidak mencium, tidak juga memeluk. Tapi ketegangan di antara mereka begitu nyata, membuat ruangan terasa jauh lebih panas dari sebelumnya.

Nazharina akhirnya tersadar. Ia menepis tangan Arian perlahan namun tegas, lalu melangkah mundur.

“Cukup.”

Arian tidak bergerak, hanya tersenyum tipis.

Nazharina memalingkan wajah. “Aku harus balik kerja,” kata Nazharina akhirnya, menunduk. “Silakan keluar dari ruanganku.”

Arian tidak langsung menjawab. Ia memandangi wanita di hadapannya itu sejenak, lalu berbalik perlahan, berjalan ke arah pintu.

Sebelum ia membuka pintu, ia berkata tanpa menoleh,

“Jangan terlalu baik sama Ethan. Aku nggak menjamin bisa tetap diam kalau dia berani deketin kamu lagi.”

Pintu tertutup lembut di belakangnya, menyisakan Nazharina yang berdiri di tengah ruangan—dadanya masih bergemuruh hebat, seolah baru melarikan diri dari badai yang nyaris membawanya kembali ke masa lalu.

Nazharina semakin yakin, Arian kian berani menunjukkan sikap dominannya. Semakin nyata, semakin terasa, bahkan semakin tak masuk akal.

Lihat selengkapnya