We Were Never Really Over

Desy Cichika
Chapter #10

Jarak yang Tak Seharusnya Ada

Pagi itu, Nazharina datang ke ruangan Arian seperti biasa. Ia membawa map laporan mingguan, mengetuk pintu dua kali sebelum masuk. Wajahnya tenang, namun ada kehati-hatian yang tak bisa disembunyikan dari caranya melangkah.

“Laporannya udah selesai,” katanya singkat, meletakkan dokumen di atas meja tanpa menatap langsung pria yang duduk di belakangnya.

Arian mengangkat wajah, diam sejenak sebelum menjawab, “Terima kasih.”

Ketika Nazharina hendak berbalik, Arian berdiri dari kursinya. “Tunggu sebentar.”

Nazharina menoleh pelan. “Ada yang perlu saya koreksi?”

“Nggak,” jawab Arian. “Aku cuma ingin ngomong.”

Ia menatapnya, tapi bukan ke mata. Pandangan Arian terhenti sedikit lebih lama di satu titik yang sama seperti kemarin—bibir Nazharina.

Nazharina menyadarinya, dan dengan sedikit canggung ia menggeser tubuh, menciptakan jarak yang aman. “Kalau berkaitan dengan pekerjaan, silakan disampaikan.”

Arian menghela napas perlahan. “Bukan tentang pekerjaan.”

Nazharina mengangkat dagunya sedikit, sikapnya tetap formal. “Kalau gitu, sebaiknya saya balik ke meja saya.”

“Aku tahu kamu ngerasa nggak nyaman,” ucap Arian dengan nada lebih tenang. “Tapi... aku nggak mau kamu jauhin aku hanya karena satu insiden kemarin.”

Nazharina terdiam. Sorot matanya tak lagi tajam, tapi juga belum sepenuhnya lunak.

“Nazh, aku juga kaget. Aku... emang sempat hilang kendali. Tapi aku nggak bermaksud maksa kamu,” lanjut Arian. Kali ini, ia menatap mata Nazharina, bukan bibirnya.

“Aku hanya ingin kita tetap bisa kerja kayak biasa. Kamu tetap bisa jadi dirimu sendiri di dekatku, tanpa harus ngerasa canggung atau terganggu. Itu aja.”

Nazharina memandangi wajah Arian beberapa detik. Ia tak membalas, tapi sikap tubuhnya sedikit lebih santai.

“Oke,” katanya akhirnya. “Kalau gitu, saya akan kembali bekerja.”

Ia berbalik, namun sebelum melangkah keluar, Arian menambahkan, “Dan... maaf kalau tadi aku sempat kehilangan fokus lagi.”

Nazharina menoleh setengah, wajahnya jelas tanpa ekspresi. “Aku tahu,” ucapnya pelan, lalu melangkah pergi.

Pintu tertutup perlahan. Arian kembali duduk di kursinya, membiarkan sejenak detak jantungnya yang sedikit berantakan mereda.

Di luar ruangan, Nazharina menggenggam map kosong erat-erat, berusaha mengabaikan satu hal yang terus terngiang di benak.

Tatapan itu. Lagi-lagi, ke arah bibirnya.

***

Kafetaria karyawan ramai seperti biasa. Suara sendok, tawa, dan obrolan bercampur jadi satu. Di sudut ruangan, Nazharina duduk bersama Ethan dan dua rekan lain. Mereka berbicara ringan tentang pekerjaan, kadang tertawa kecil di sela percakapan.

Dari kejauhan, Arian memperhatikan tanpa ekspresi. Tatapannya tenang, tapi ada sesuatu di balik dinginnya yang sulit dijelaskan. Maxime, yang duduk di meja tak jauh darinya, hanya tersenyum samar — sudah bisa menebak apa yang akan terjadi.

Tak lama, Arian berdiri dan melangkah ke arah meja Nazharina. Suara riuh di sekitar seolah memudar.

“Kalian sedang apa di sini?” tanyanya datar, tapi nada suaranya tegas.

Ethan menoleh, tetap sopan. “Oh, kami cuma ngobrol santai, Pak—”

Lihat selengkapnya