Arian mendesah, lalu menatapnya lebih tenang. “Oke. Aku cuma… ingin kamu pindah ke ruanganku. Karena kamu nolak, aku pikir… perlu sedikit dorongan.”
“Dorongan?” Nazharina menatap tak percaya. “Kau berantakin meja kerja orang cuma biar aku pindah ruangan?”
“Metode persuasif yang efektif, ‘kan?” ucap Arian ringan, seolah tak ada yang salah.
“Efektif? Itu sabotase.”
Suara Maxime muncul dari belakang, menahan tawa. “Lo sadar nggak, Arian? Ini udah masuk ranah kriminal perkantoran.”
Arian menoleh santai. “Gue nyebutnya strategi.”
Nazharina meletakkan kopinya dengan kasar, mulai merapikan meja sambil mengomel. “Kamu pikir aku bakal nyerah gitu aja dan pindah ke ruanganmu?”
Arian menyilangkan tangan, tersenyum samar. “Aku harap sih gitu. Tapi kalau kamu masih bandel, aku bisa—”
“Stop.” Nazharina menatapnya tajam. “Jangan pernah sentuh meja ini lagi.”
Arian menunduk sedikit, seolah memberi hormat. “Oke. Untuk hari ini.”
“Dan besok?”
Arian berbalik, meninggalkan senyum penuh arti. “Kita liat aja nanti.”
Maxime yang sedari tadi menonton akhirnya tertawa keras. “Nazh, kamu tahu kan dia nggak bakal berhenti?”
Nazharina menutup mata sejenak, menghela napas panjang. “Aku tahu. Dia emang nyebelin.”
“Kenapa nggak sekalian pindah ke ruangannya aja?” goda Maxime.
Nazharina melirik kesal. “Beda ruangan aja dia udah bikin kacau kayak gini. Bayangin kalau kami satu ruangan.”
Maxime hanya tergelak. “Kamu pasti nggak akan bisa kerja sama sekali.”
Baru saja Nazharina selesai merapikan berkas, suara seseorang memanggil lembut dari samping.
“Hai, Nazharina.”
Ethan berdiri di sana dengan senyum ramah dan postur sedikit gugup.
Nazharina menatapnya, tetap sopan. “Hai, Ethan. Ada yang bisa kubantu?”
Ethan menggeleng cepat. “Nggak juga. Aku Cuma mau ngobrol sebentar. Aku masih baru di sini, jadi mau minta tips kerja.”
Nazharina sempat menoleh ke arah Maxime, yang langsung menyeringai. Ia bisa menebak ini bakal memancing sesuatu.
“Kalau tips umum sih, aku juga masih belajar,” jawab Nazharina santai. “Tapi tanya aja kalau butuh bantuan.”
“Berarti aku boleh nanya apa aja?” tanya Ethan sambil tersenyum.
“Selama masuk akal,” sahut Nazharina.
Ethan tertawa kecil. “Oke, kalau gitu… biasanya kamu makan siang di mana? Di luar, atau di kafetaria?”
Nazharina baru saja hendak menjawab ketika suara berat terdengar dari belakang mereka.
“Dia makan siang sama saya.”
Nazharina langsung menutup mata sejenak. Ia bahkan tidak perlu menoleh untuk tahu siapa pemilik suara itu.
Arian berdiri di sana, tangan di saku, dan wajah datar khasnya.
Ethan tampak canggung. “Oh, maaf, Pak. Saya Cuma nanya, nggak ada maksud apa-apa.”
Arian menatapnya datar. “Nggak ada maksud apa-apa, tapi kamu penasaran dia makan di mana?”
“Cuma basa-basi, Pak,” jawab Ethan hati-hati. “Saya pikir… mungkin bisa makan siang bareng—”