We Were Never Really Over

Desy Cichika
Chapter #12

Frustasi Sekantor

Maxime menggelengkan kepala. “Lo bisa aja bilang langsung, Bro. ‘Gue nggak suka Nazharina ngobrol sama cowok lain'. Nggak perlu bikin peraturan aneh sampe anak sekantor jadi korban cinta lo.”

Arian menatap Maxime dengan dingin. “Kalau lo masih ngomong, gue tambahin satu pasal baru. Dilarang ngobrol selama satu shift penuh.”

Maxime terkekeh. “Ancaman paling elegan yang pernah gue denger.”

Arian menatapnya tajam. “Mungkin lo harus kerja lebih keras, Max. Kurang sibuk kayaknya.”

“Gue sibuk kok. Sibuk nonton lo yang makin hari makin nggak waras,” balas Maxime santai.

Arian menarik napas pelan, lalu berdiri. “Aturan tetap berlaku.”

“Dan aku tetap akan melanggarnya,” balas Nazharina tenang.

Maxime bertepuk tangan pelan. “Dua orang dewasa, satu aturan konyol. Gue kasih waktu seminggu sebelum kantor ini pecah jadi dua kubu.”

Nazharina mengetuk meja dengan jari, nadanya dingin. “Denger ya, Arian. Aku akan pastikan seluruh kantor tahu siapa dalang di balik aturan absurd ini.”

Ia mengambil kertas itu, menatap Arian terakhir kali, lalu berjalan keluar.

Pintu menutup perlahan, meninggalkan keheningan singkat.

Maxime menatap Arian dan berkata pelan, “Gue tau lo pengen ngelindungin dia. Tapi lo sadar kan, ini bakal jadi bumerang?”

Arian bersandar di kursi, menatap kertas yang kini tak lagi ada di mejanya.

“Biain aja. Seenggaknya… dia nggak akan terlalu dekat dengan siapa pun lagi.”

Maxime menggeleng, separuh heran, separuh kagum. “Cinta lo tuh… terlalu administratif, Arian. Semua harus diatur, sampe lupa kalau hati orang nggak bisa ditandatangani.”

Arian tidak menjawab. Tapi senyum tipis yang muncul di wajahnya cukup menjelaskan segalanya.

Sementara itu di luar, langkah Nazharina bergema di lorong kantor, tegas dan mantap.

Ia tidak peduli pada tatapan penasaran para staf yang menatap selebaran di tangannya.

Beberapa karyawan sudah menggenggam salinan yang sama—membacanya dengan ekspresi bingung, separuh geli, separuh tidak percaya.

Sebagian yang lain hanya saling bertukar pandang, seolah masih menunggu penjelasan logis yang tak kunjung datang.

“Ini serius?” bisik salah satu staf perempuan.

“Kayaknya iya. Gue juga baru dapet selebarannya barusan,” jawab rekannya, masih menatap kertas itu tak percaya.

Nazharina berhenti di depan ruang istirahat staf, lalu berbalik menghadap mereka.

Ia mengangkat kertas aturan itu tinggi-tinggi.

“Kalau kalian tanya siapa yang bikin peraturan ini,” suaranya lantang, tegas, “jawabannya... Pak Arian sendiri. Dan kalau kalian pikir ini lelucon… sayangnya bukan.”

Ruangan itu langsung hening. Beberapa detik kemudian, tawa kecil mulai terdengar dari berbagai arah.

Beberapa pria saling melirik geli, sementara para staf wanita mulai berbisik tak nyaman.

“Jadi… kita nggak boleh ngobrol sama partner shift kalau dia lawan jenis?” tanya salah satu staf laki-laki.

“Ssst—nanti waktunya dihitung,” gumam yang lain sambil menahan tawa.

Nazharina mengembuskan napas, lalu menyelipkan kertas itu di papan pengumuman.

“Silakan dibaca,” katanya tenang. “Dan pikirkan baik-baik sebelum ngobrol lebih dari lima menit.”

Ia berbalik meninggalkan ruangan, diiringi riuh tawa yang makin keras.

Lihat selengkapnya