We Were Never Really Over

Desy Cichika
Chapter #13

Merajut Kenangan

Nazharina mengepalkan tangan di pangkuan. “Ini nggak profesional, Arian. Kamu pakai posisi untuk keuntungan pribadi.”

Arian menatapnya lurus. “Aku cuma ngasih solusi. Pilihan tetap di tanganmu.”

Hening menegang di antara mereka beberapa detik, sampai akhirnya Nazharina berkata pelan, “Oke. Aku setuju.”

Senyum Arian muncul samar. “Bagus. Kita atur waktunya nanti.”

Nazharina berdiri, menatapnya untuk terakhir kalinya sebelum keluar. “Aku harap kamu tepati janjimu untuk mencabut aturan itu.”

Arian menunduk sedikit, suaranya tenang tapi dalam. “Aku selalu tepati janji, Nazh.”

***

Keesokan paginya, langkah Nazharina terasa berat saat memasuki lobi hotel. Ia masih tak percaya sudah menerima syarat konyol itu.

Tapi kadang, beberapa hal harus dilakukan bukan karena mau — melainkan karena tak ada pilihan lain.

Suara langkah Arian terdengar dari arah lift. Kemeja putihnya tergulung rapi hingga siku, rambutnya tertata, dan aroma parfumnya mengisi ruang dengan dingin yang terlalu familiar.

“Udah siap?” tanyanya singkat, seolah ini bukan kencan, tapi inspeksi kerja.

Nazharina mendengus. “Aku yang harusnya nanya kayak gitu. Kita mau ke mana, sebenarnya?”

Arian tidak menjawab. Ia hanya memberi isyarat agar Nazharina mengikutinya.

Dengan malas, Nazharina berjalan di belakang. “Aku ikut, tapi jangan harap hari ini aku jadi tameng buat mood kamu yang nyebelin itu.”

Baru sepuluh menit, mereka sudah berhenti tiga kali. Pertama, Arian ingin beli bunga di toko yang... tidak buka. Kedua, ia minta mampir ke bengkel untuk urusan mobil. Ketiga, ia lupa dompetnya dan menyuruh Nazharina menunggu di minimarket kecil sambil ia balik ke hotel.

Nazharina memutar mata begitu Arian kembali dengan napas sedikit terburu.

“Kalau ini definisimu soal kencan, aku nyesel udah setuju,” ujarnya tajam.

Arian memasang wajah tenang. “Kamu punya definisi kencan sendiri, aku juga.”

“Definisimu ini kayak menyiksa asisten pribadi, bukan kencan.”

Untuk pertama kalinya pagi itu, Arian tertawa kecil. “Kalau kamu nyerah sekarang, artinya aku menang.”

Nazharina menatapnya curiga. “Kamu sengaja, kan? Bikin aku kesel?”

Arian hanya mengangkat alis. “Kadang, satu-satunya cara bikin seseorang membuka diri… adalah dengan memancing emosinya.”

Nazharina mendesah panjang, antara kesal dan menyerah. Tapi di balik kekesalannya, ada sesuatu yang lain —

Perasaan samar yang dulu sempat ia buang jauh-jauh.

Ia menatap pria itu diam-diam dan berpikir,

Mungkin, Arian memang belum berubah.

Masih menyebalkan.

Dan entah kenapa… tetap berhasil membuatnya bertahan.

Lihat selengkapnya