We Were Never Really Over

Desy Cichika
Chapter #14

Kenangan yang Tertinggal

Arian menatap layar ponselnya yang gelap. Sudah tiga kali ia coba menghubungi Nazharina. Tidak aktif.

"Aneh," gumamnya. "Biasanya dia selalu balas cepet."

Rasa cemas menyelinap. Ia langsung bangkit dari kursi kerjanya dan meraih jaket.

Tak sampai setengah jam, ia sudah berdiri di depan rumah tua berwarna putih pudar itu—rumah lama Nazharina sebelum ia diadopsi keluarganya. Rumah itu masih berdiri, walau sudah usang. Seperti menyimpan semua kenangan masa kecil perempuan itu.

Arian mengetuk pintu berkali-kali. Tak ada sahutan.

“Nazh?” panggilnya keras. Tak ada jawaban.

Ia mendorong pintu pelan. Tidak dikunci.

Begitu masuk, ia mendapati tubuh Nazharina terbaring di sofa. Kulitnya pucat, rambutnya kusut, dan tubuhnya menggigil di balik selimut tipis.

“Nazh?” Arian bergegas mendekat, menepuk pipinya lembut. “Nazh, bangun. Kamu bisa dengar aku?”

Nazharina hanya mengerang pelan.

Arian mengeluarkan ponsel dan menelepon dokter pribadinya tanpa pikir panjang.

**

Setengah jam kemudian, sang dokter keluar dari kamar, melepas sarung tangannya.

“Demam tinggi. Mungkin karena kecapekan dan masuk angin parah. Saya kasih obat penurun panas dan cairan. Tapi tetap perlu diawasi malam ini. Kalau makin parah, langsung bawa ke rumah sakit.”

Arian mengangguk. “Saya akan menjaganya.”

Setelah dokter pergi, Arian duduk di tepi ranjang. Ia menatap wajah perempuan itu.

Tiba-tiba, Nazharina menggeliat pelan, menggumam tak jelas. Air mata menetes dari sudut matanya.

“Kak... Arian... jangan tinggalkan aku...”

Jantung Arian mencelos.

“Nazh... aku di sini,” bisiknya.

Perempuan itu tak menjawab. Matanya masih terpejam. Tapi tangannya bergerak pelan, meraih udara, mencari sesuatu. Arian segera menggenggam tangan itu.

“Tenang... aku nggak akan ke mana-mana.”

Ia mengelus rambut Nazharina dengan hati-hati, lalu menunduk, mencium pelan keningnya. Kemudian pipinya. Ia hampir mencium bibirnya—hampir. Tapi tangannya mengepal menahan diri.

“Bukan sekarang,” gumamnya. “Ciuman pertama kita... harus kamu izinkan. Harus kamu ingat.”

Ia hanya bisa memeluk Nazharina erat sambil berbaring di sampingnya, mengisi kekosongan yang selama ini tak pernah mereka sentuh. Malam itu, ia tak tidur. Ia hanya menjaga, memandangi, meresapi.

Menjelang Subuh, demam Nazharina turun. Nafasnya mulai teratur, tubuhnya sudah tak sepanas tadi.

Arian berdiri, menatapnya sekali lagi sebelum akhirnya memutuskan untuk pulang. Ia meninggalkan secarik kertas di meja makan.

Namun, sesuatu tertinggal di kamar itu—jam tangan kulit berwarna hitam yang ia letakkan di atas nakas saat merawat Nazharina. Jam itu dulunya hadiah dari Nazharina di ulang tahun pernikahan kelima mereka. Jam yang tak pernah ia buang, meski tak pernah ia pakai... sampai hari ini.

**

Siang harinya, Nazharina terbangun dengan kepala berat. Rumah sepi. Tapi meja makannya ada pesan kecil bertuliskan tangan Arian:

"Aku titipkan malam tadi, semoga cukup menjagamu. – Kak Arian"

Lihat selengkapnya