Arian menatap kotak itu sejenak, lalu mengangguk pelan. Tangannya menyentuh tutup kotak, tapi tidak membukanya.
“Kamu nggak perlu kembaliin sekarang,” katanya datar, meski ada bayangan sesuatu di matanya yang tak bisa disembunyikan.
Nazharina tersenyum singkat. “Kalau terlalu lama, nanti aku keterusan.”
Arian menoleh cepat ke arahnya, seolah tidak menyangka ucapan itu keluar dari mulut Nazharina. Mereka bertatapan—dan untuk beberapa detik, waktu seperti berhenti.
Lalu…
Tuk-tuk-tuk.
Pintu diketuk ringan, dan tanpa menunggu izin, Maxime masuk dengan gaya khasnya. Ia membawa tablet di satu tangan dan kopi di tangan lainnya.
“Wah, wah, wah…” katanya dengan nada berlebihan. “Kayaknya gue dateng salah waktu, deh.”
Nazharina langsung mundur setengah langkah, sementara Arian mendesah pelan.
Maxime melangkah ke dalam ruangan, menatap kotak kecil di meja. “Apaan tuh? Jam tangan? Duh, manis banget. Kirain ini pertemuan bisnis, ternyata pemberian properti cinta.”
Nazharina menatapnya, ingin protes, tapi Maxime sudah menyeringai seperti anak kecil yang baru menemukan mainan baru.
“Arian,” lanjutnya, “lo sadar nggak, ekspresi lo barusan kayak orang yang abis ditinggal kawin.”
Arian mendelik tajam. “Max.”
“Serius,” Maxime tetap santai, meletakkan tablet ke meja. “Dan kamu, Mbak Nazh, mukamu kayak abis ditangkep pas lagi nyolong permen di toko.”
Nazharina menegakkan bahu. “Aku cuma balikin barang.”
“Iya deh, iya.” Maxime menyesap kopinya. “Karena balikin jam tangan emang sangat emosional, ya. Sampai bisa bikin suasana di ruangan ini jadi kayak... adegan slow-motion di drama Korea.”
Arian menggosok pelipisnya, sementara Nazharina memalingkan wajah, mencoba menahan senyum.
Maxime melirik keduanya bergantian. “Gue penasaran. Apa jamnya jadi lebih cepet muternya pas kalian saling tatap?”
“Max,” Arian memperingatkan.
“Gue cuma bilang fakta,” Maxime mengangkat tangan dengan ekspresi polos. “Dan by the way, kenapa kalian nggak sekalian tukeran barang saja? Kamu ngasih jam, dia ngasih hatinya. Win-win.”
Nazharina akhirnya tertawa kecil, meski berusaha menutupinya dengan tangan. Arian hanya bisa memutar mata.
“Keluar nggak lo,” kata Arian akhirnya. “Sebelum lo bener-bener gue pecat.”
“Santai dong, Bos. Nggak disuruh juga gue bakalan keluar kok. Tapi sebelum itu…” Maxime mendekat dan berbisik ke arah Arian, cukup keras untuk Nazharina dengar, “lo tahu, kalau lo ngeliat dia lima detik lebih lama tadi, gue langsung pesenin cincin via ekspres.”
“KELUAR!”
Maxime terkekeh dan melangkah pergi, tapi sebelum menutup pintu, ia sempat melirik ke belakang dan berkata, “Dan jangan lupa, lo bedua ada meeting siang ini. Coba tahan diri, jangan sampai chemistry overload di ruang rapat.”