Nazharina duduk di bawah payung besar berwarna beige, ditemani secangkir teh hijau dan Kinoshita yang asyik mengaduk lemon tea-nya. Mereka baru saja menyelesaikan medical check-up, dan memutuskan untuk istirahat sebentar.
“Jadi, gimana ceritanya lo dulu bisa cerai sama mantan?” tanya Kinoshita pelan, sambil menatap lurus ke depan. Ia masih penasaran tentang cerita mantan suami sahabatnya itu meski Nazharina tak memberitahu siapa orangnya.
Nazharina terdiam sejenak. "Dia orangnya baik. Hampir sempurna. Tapi gue tetep gugat cerai karena ngerasa... gue nggak akan pernah jadi bagian dari hidupnya."
Kinoshita menoleh. "Lo serius?"
"Dia nggak pernah peduli sama gue. Gue tahu semua tentang dia, tapi dia nggak tahu apa-apa tentang gue. Gue ngerasa kayak... perabot rumah. Ada, tapi nggak bener-bener dihargain. Dan... gue kasian sama dia kalau harus kejebak seumur hidup sama orang yang nggak bisa dia cinta. Gue lepasin... biar dia bisa nemuin cinta sejatinya."
Kinoshita diam, tak menyadari bahwa seseorang berdiri tak jauh dari sana. Tersembunyi di balik pohon maple dan jendela kaca, Arian memandangi Nazharina dengan rahang mengeras. Tubuhnya menegang, hatinya seperti dilubangi peluru kata-kata.
Bagaimana bisa dia berpikir begitu?
***
Kinoshita baru saja mengambil ponselnya yang tertinggal di dalam kafe saat lengan Nazharina ditarik oleh seseorang dari belakang. Gerakan itu cepat, tanpa suara, dan sangat personal. Nazharina terkesiap saat menyadari siapa yang menariknya.
“Kak Arian?” bisiknya kaget.
“Ikut aku,” katanya lirih. Tatapannya dalam, nyaris gelap, tetapi tak menyeramkan. Justru terlalu intens untuk dihindari.
“Aku lagi sama Kinosh...”
“Tinggalin dulu dia. Aku mau ngomong. Sekarang.”
Nazharina tak punya cukup waktu untuk menolak. Tubuhnya digiring ke mobil Arian yang berhenti di seberang jalan. Ia tahu, ia bisa berontak kalau mau. Tapi kakinya seolah mengerti kalau ini bukan waktu untuk melawan.
Mereka duduk berdua di dalam mobil. Udara di antara mereka terlalu sesak oleh kata-kata yang belum diucapkan.
“Aku denger semua omongan kalian tadi,” Arian memulai dengan suara berat.
Nazharina menoleh cepat. “Kamu—nguping?”
“Iya, aku denger semuanya. Aku denger kamu bilang sesuatu ke Kinoshita tadi."
Nazharina terdiam.
“Kamu denger apa?” tanya Nazharina memastikan.
Arian menatapnya tajam. “Kamu bilang aku hampir sempurna, tapi nggak tahu apa-apa tentang kamu. Trus kamu bilang, kamu ngelepasin aku karena ngerasa aku lebih baik tanpa kamu.”
Nazharina terdiam.
“Mungkin kamu bener,” Arian berkata pelan. “Aku emang nggak tahu apa-apa tentang kamu. Tapi kamu salah, karena aku justru ngerasa paling hidup... waktu sama kamu.”