We Were Never Really Over

Desy Cichika
Chapter #17

Ingatan yang Samar

Nazharina memeluk lutut, duduk membisu di dekat jendela. Di kamar dalam, Arian telah terlelap di ranjang tamu. Wajahnya tenang, nyaris tak bersalah, seakan badai emosi yang meledak beberapa jam lalu tak pernah terjadi.

Namun di dada Nazharina, ada sesuatu yang menggumpal. Terasa sesak. Bibirnya masih menyimpan jejak hangat dari ciuman pertama itu—yang hadir tiba-tiba, begitu membingungkan, begitu... menyentuh.

Ia menghela napas panjang. Rintik hujan mulai mengecil. Malam menjadi lengang.

Ting-tong.

Suara bel membuyarkan lamunannya. Dengan langkah pelan, ia menuju pintu depan. Begitu dibuka, sosok Maxime berdiri di sana, membawa payung hitam yang meneteskan sisa hujan.

"Maaf, aku ganggu malam-malam gini," ucap Maxime seraya menurunkan payungnya. "Begitu kamu kirim chat, aku langsung berangkat."

Nazharina tersenyum canggung. "Harusnya aku yang minta maaf. Aku nggak tahu harus hubungin siapa lagi. Makasih, Max."

Maxime mengangguk, menatap ke dalam rumah. "Dia di dalam, ‘kan?"

Nazharina menjawab dengan anggukan kecil. Ia menyingkir, mempersilakan Maxime masuk.

Sesampainya di dalam, Maxime melihat Arian terbaring di kamar tamu. Ia memiringkan kepala sedikit. "Dia... nggak basah kuyup ya? Kupikir masih pake baju yang tadi."

Nazharina meremas jemarinya sendiri. "Udah kuganti. Bajunya terlalu basah... aku takut dia demam."

“Dari mana kamu dapat baju gantinya?” tanya Maxime penasaran. Sebab tak mungkin Nazharina punya baju lelaki ber-merk seperti yang biasa Arian pakai, mengingat wanita itu hanya tinggal sendirian di rumahnya.

“Itu baju lama dia. A–aku emang ada nyimpen bajunya.” Suara Nazharina jelas terdengar bergetar.

Maxime meliriknya sekilas, ada senyum nakal di sudut bibirnya. "Jadi... kamu yang gantiin bajunya?"

Nazharina langsung memalingkan wajah. "Iya... maksud aku... aku hanya... ya, dia mabuk banget tadi. Aku nggak bisa biarin dia tidur dalam keadaan kayak gitu."

Maxime tertawa pelan. "Aww... kamu udah ngeliat semuanya, dong."

Nazharina menggigit bibir. Malu bukan main.

"Mukamu merah, Mbak Nazh," lanjutnya dengan nada menggoda. "Tau nggak? Ekspresimu nggak pernah secanggung ini waktu rapat bulanan."

Nazharina menutup wajah dengan satu tangan. "Max... please..."

"Oke, oke." Ia mengangkat tangan tanda menyerah sambil tertawa kecil. "Kita angkat dia ke mobil. Sebelum aku ngomongin hal yang lebih malu-maluin."

Maxime berjalan ke arah ranjang, lalu membungkuk dan mengangkat tubuh Arian dengan cekatan. Meski tampak kesulitan, ia masih sempat bergumam, "Gila, nih orang masih berat kayak dulu."

Nazharina mengikuti dari belakang, memandangi langkah mereka yang meninggalkan ruang tamunya—dan meninggalkan sisa dari sesuatu yang tak bisa ia definisikan. Sebuah rasa yang menyelinap... sebuah luka lama yang belum benar-benar sembuh.

Baju itu—kaus putih dan celana kain abu-abu yang kini dikenakan Arian—baju yang dulu ia bawa dan simpan diam-diam setelah meninggalkan rumah itu, setelah memilih pergi dari pernikahan mereka. Ia sendiri tak pernah tahu mengapa ia tak sanggup membuangnya.

Kini, baju itu melekat kembali pada tubuh Arian. Seolah waktu sedang berputar ke belakang... atau hanya ingin mempermainkan mereka sekali lagi.

***

Arian membuka mata perlahan. Kepala terasa berat, leher pegal, dan ada rasa asing di sekitar tubuhnya. Ia memandang ke langit-langit... ini kamarnya. Kamarnya sendiri. Tapi—ada yang aneh.

Lihat selengkapnya