We Were Never Really Over

Desy Cichika
Chapter #18

Tak Akan Kubiarkan Pergi

Nazharina berdiri di depan mesin kopi. Tangannya gemetar sedikit saat mengambil cangkir. Ketika Arian muncul dari balik pintu, bahunya refleks menegang.

Arian berhenti di ambang pintu. Mereka saling menatap. Sunyi. Hanya terdengar suara mesin kopi dan detak jantung yang tak tentu arah.

"Selamat pagi," ucap Nazharina akhirnya, tanpa menatap langsung.

"Pagi..." jawab Arian pelan.

Ia ingin bicara, tapi lidahnya kelu. Nazharina mengangguk singkat, hendak melangkah pergi, tapi Arian memanggil pelan, “Nazh.”

Langkah wanita itu terhenti.

“Aku... nggak ingat dengan jelas. Tapi... kalau ada hal nggak pantes yang aku lakuin semalem... aku minta maaf.”

Nazharina tidak menoleh. “Nggak perlu minta maaf. Aku cuma... nggak nyangka aja akan jadi satu-satunya orang yang inget semua itu.”

Arian terpaku. Sebuah perasaan aneh menyusup di dada.

Nazharina berjalan keluar, meninggalkan Arian yang masih membeku di tempat. Jantungnya berdetak makin tak karuan.

***

Sejak malam itu, segalanya berubah.

Nazharina mulai menghitung langkah saat berjalan di lorong. Ia memilih turun lewat tangga belakang agar tak harus berpapasan di lift yang sempit. Bahkan suara langkah Arian saja sudah cukup membuatnya panik dan bersembunyi di balik rak map.

Setiap detik terasa seperti ujian, dan ia lelah menebak-nebak apakah ciuman itu berarti sesuatu... atau hanya sisa dari mabuk yang belum usai. Ia tak mau ‘kegeeran’. Tapi ia juga tak sanggup berpura-pura dingin setiap kali melihat tatapan Arian yang makin hari makin sulit ditebak.

Maka ketika lembur membuat mereka kembali terjebak hanya berdua di ruangan, Nazharina tahu, ia harus berhenti. Sebelum harapannya tumbuh. Sebelum Arian pulih sepenuhnya—dan melangkah pergi, seolah tak pernah terjadi apa-apa.

Aroma kopi pagi tak lagi menenangkan. Setiap rekan kerja yang memanggil namanya dengan ceria justru terdengar seperti gema yang datang dari lorong kosong.

Maxime bahkan sempat menggoda, “Kalian keliatan makin canggung kayak anak SMP baru ngerasain puber. Ada apa sih?”

Nazharina hanya tersenyum kecil. “Nggak ada apa-apa.”

Padahal semuanya terasa terlalu banyak.

Hari itu, sore menjelang malam. Kantor sudah sepi. Arian masih di luar, menghadiri pertemuan dengan klien bersama Maxime. Ruangan kantor terasa hening, hanya ditemani dengung AC dan suara keyboard yang terdengar dari jarinya sendiri.

Nazharina membuka dokumen kosong di laptop, lalu menatapnya lama. Tangannya sempat gemetar, sebelum akhirnya mulai mengetik pelan.

Yth. Bapak Arian Desmario Laurent...

Kalimat itu membuat dadanya sesak.

Ia berhenti sejenak, menutup mata, lalu menarik napas panjang. Hatinya berat, tapi pikirannya sudah mantap. Ia menyelesaikan surat pengunduran diri itu dalam satu tarikan emosi.

Tak ada kalimat sentimental. Hanya pernyataan bahwa ia memilih mundur dari posisinya, efektif segera. Tanpa alasan pribadi. Tanpa kata perpisahan.

Selesai mengetik, ia mencetaknya, melipat rapi, lalu berdiri. Suara langkahnya menggema di dalam ruangan kosong ketika ia melangkah ke ruang kerja Arian. Lampunya mati, tapi ruangan itu tetap menyimpan aroma khas—aroma kayu dan parfum maskulin yang mulai terlalu sering membayangi mimpinya.

Nazharina meletakkan surat itu di atas meja kerja Arian.

Tangannya sempat tertahan di sana beberapa detik, seperti ingin menarik kembali keputusannya. Tapi kemudian ia menghela napas, dan berbalik pergi.

Ia tak tahu apakah itu keputusan bodoh atau cara terbaik untuk menjaga dirinya sendiri. Tapi yang ia tahu, ia tak mau menjadi penonton dari perasaannya sendiri yang makin tak bisa dikendalikan.

***

Nazharina berdiri di depan lemari, memandangi setelan kerja favoritnya yang tergantung rapi. Jemarinya menyentuh kain itu pelan, seperti menyapa kenangan yang masih hangat. Tapi matanya menatap kosong, seolah berusaha menenangkan gejolak di dalam dadanya.

Lihat selengkapnya