We Were Never Really Over

Desy Cichika
Chapter #19

Biarkan Aku Jujur Hari Ini

Nazharina mengembuskan napas pelan, nyaris seperti erangan kecil yang tertahan di kerongkongan. Tubuhnya menegang, jantungnya nyaris meledak oleh semua hal yang tak bisa dia ucapkan.

Arian masih menatapnya, dengan sorot mata yang bukan lagi sekadar mantan suami. Tapi laki-laki yang ingin dicintai dan mencintai, sepenuhnya, dengan sadar.

"Aku takut berharap," bisik Nazharina akhirnya, suaranya bergetar. "Aku takut semua ini cuma momen sesaat. Aku takut... kamu akan sadar dan nyesel."

"Aku nggak akan nyesel," potong Arian cepat. Ia mendekat, lebih dekat, hingga napas mereka bercampur. "Satu-satunya yang bikin aku nyesel adalah... nggak pernah nunjukin rasa cinta aku ke kamu dengan cara yang benar dari dulu."

Nazharina memejamkan mata. Wajahnya mengangkat sedikit, tubuhnya seolah menyerah pada gravitasi yang hanya dimiliki Arian.

"Aku cinta sama kamu, Nazh," ucap Arian dengan suara yang serak. “Bukan karena rasa bersalah. Bukan karena wasiat Mama. Tapi karena setiap hari sama kamu itu... adalah alasan aku untuk hidup lebih baik.”

Saat matanya terbuka kembali, ada air bening yang menggantung di pelupuknya. Ia menggeleng pelan. "Jangan bilang kayak gitu... besok-besok kamu bisa aja berubah pikiran."

Arian tersenyum kecil, lalu menangkup wajah Nazharina dengan kedua tangannya.

“Kalau besok aku berubah pikiran, kamu boleh tampar aku. Tapi hari ini… biarin aku jujur.”

Ia menunduk, menyentuhkan bibirnya pada bibir Nazharina—pelan, nyaris ragu, seolah memberi ruang bagi Nazharina untuk mundur jika ia mau.

Nazharina justru membalas, dengan gemetar. Rasanya seperti membuka pintu yang lama ia kunci rapat-rapat. Tangannya naik menyentuh dada Arian, merasakan degup yang sama kacau dan tak teratur.

Ciuman itu berakhir dalam pelukan sunyi. Lama, tenang, namun penuh gemuruh yang tak terucapkan.

“Aku juga cinta… sama kamu,” bisik Nazharina di dadanya.

Arian mengerjap, seolah kata itu menusuk tepat di dada, napasnya seperti hilang. Jemarinya naik menyapu rambut Nazharina penuh hati-hati, seperti takut menyakitinya, lalu wajahnya, dan bibir mereka kembali bertemu—lebih dalam, lebih hangat, tapi tetap lembut.

Saat mereka terhuyung ke sofa, Arian memastikan tubuh Nazharina didahulukan, membaringkannya perlahan. Ia menyusul, namun menahan sebagian berat tubuhnya dengan tangan dan lengan, memberi ruang aman di antara mereka.

Tangan Arian menyusuri sisi tubuh Nazharina—pinggang, lengan, kemudian punggung—dengan sentuhan yang ringan.

Nazharina menggenggam kerah kemeja Arian dengan erat.

“Arian…” panggilnya. Ia menyentuh pipi pria itu, membuat Arian menatapnya dari jarak sangat dekat, seolah dunia hanya berisi dua orang.

Matanya lembut. Nafasnya berat.

“Tapi… jangan sekarang.”

Arian berhenti seketika. Tidak tersinggung, tidak kecewa—hanya berhenti.

Ia menatap Nazharina lama, seolah ingin memastikan tidak ada rasa takut di balik kata-kata itu. Lalu ia tersenyum pelan, menunduk, mencium keningnya sekali lagi.

“Iya,” bisiknya. “Kita nggak harus buru-buru.”

Lihat selengkapnya