Nazharina membuka kulkas, mengeluarkan bahan dan mulai memotong. Tapi Arian datang lagi dari belakang, memeluk, dagunya bersandar di bahu.
“Kak Arian,” tegur Nazharina.
“Hm?”
“Jangan gangguin dong, nanti mataku kena cabe.”
“Jangan pakai cabe banyak-banyak,” bisik Arian. “Ngeliat kamu aja aku udah kepedesan.”
Nazharina mendecak, tapi senyum tak bisa disembunyikan. Tangannya terus bekerja. Bau harum memenuhi dapur.
Arian lagi-lagi tak bisa diam. Tangannya masuk ke balik apron Nazharina, mengelus perutnya pelan. Bibirnya mengecup belakang kepala Nazharina, lalu lehernya.
“Ini kita lagi di dapur, loh,” protes Nazharina pelan.
“Justru karena ini dapur,” bisiknya menggoda. “Tempat cinta dimulai dari aroma.”
Nazharina menoleh, ingin mengomel, tapi Arian cepat mencuri kecupan lembut di bibirnya. Nazharina mendorong dadanya pelan, sambil tertawa geli. “Kalau nasi goreng ini gosong, makan sendiri. Awas kalo nggak dihabisin.”
“Pasti abis... asal kamu yang masak.”
Setelah matang, mereka duduk bersama di meja makan kecil. Arian menyendok satu suap, mengunyah perlahan.
Ia menatap Nazharina dalam-dalam. “Masih seenak dulu. Bahkan lebih.”
Nazharina hanya menunduk, menyuap pelan. Tapi bibirnya mengulum senyum tipis.
***
Nazharina melirik jam dinding. Hampir pukul sembilan malam. Ia memberanikan diri memutar tubuhnya, menatap Arian yang sejak selesai makan hanya duduk di sofa, memandangi piring kosong dengan ekspresi santai tapi penuh rencana.
“Kak Arian,” panggilnya pelan. “Kamu nggak mau pulang?”
Arian menoleh, alisnya terangkat kecil. “Emangnya aku harus pulang?”
Nazharina bersedekap. “Iyalah. Ini kan udah malem.”
Ia berdiri pelan, mendekatinya. “Dan aku nggak pernah suka sama malam yang bikin kita jadi harus pisah,” jawabnya, lalu memegang tangan Nazharina dan menariknya ke pangkuannya.
“Kak—”
“Aku nginep di sini,” potong Arian cepat, serius. “Aku janji nggak bakalan macem-macem. Biarin aku tetap di bawah atap yang sama dengan kamu malam ini.”
Nazharina diam. Ada keraguan dalam sorot matanya, tapi juga keengganan untuk menolak. Ia menghela napas, akhirnya mengangguk, “Satu malam ini saja.”