Lampu pantry redup. Hanya satu bohlam menyala lemah di sudut langit-langit.
Nazharina melangkah masuk, kedua tangannya memeluk perut yang mulai memberontak diam-diam.
Jam menunjukkan pukul sebelas malam, dan masih ada laporan yang belum selesai. Ia membuka lemari, mencari-cari camilan, tapi hanya menemukan sebungkus biskuit sisa rapat minggu lalu.
Ia menghela napas, lalu membuka bungkus itu—tak menggugah selera, tapi cukup untuk menenangkan lambung. Tangannya baru menyentuh cangkir saat suara langkah pelan terdengar di belakang.
"Aku pikir kamu bakalan tetap keras kepala sampai pagi."
Suara itu berat namun tenang, disusul bunyi pintu pantry yang tertutup perlahan.
Nazharina menoleh. Arian berdiri di ambang pintu, mengenakan kemeja yang lengannya digulung sampai siku, dasi dilonggarkan. Wajahnya teduh, nyaris tanpa ekspresi—kecuali sorot matanya yang terlalu jujur untuk diabaikan.
"Kak Arian? Ngapain di sini? Kamu belum pulang?" tanyanya pelan, lebih karena terkejut daripada marah.
"Aku nungguin kamu," jawab Arian, sambil melangkah masuk. Ia meletakkan kantong kertas di atas meja. "Aku pesen makanan. Kamu pasti belum makan dari sore."
Nazharina mengangkat alis. "Sejak kapan kamu jadi perhatian kayak gini?"
Arian hanya tersenyum kecil. "Sejak kamu udah nggak tinggal sama aku."
Ia menarik kursi di hadapannya dan duduk tenang, seolah ini bukan kali pertama mereka begini. Ia membuka bungkusan satu per satu, menata piring kertas dan sendok plastik dengan hati-hati—seolah ini adalah makan malam di restoran mahal.
Nazharina mengambil tempat, duduk di hadapannya.
"Kamu masih inget waktu pertama kali dateng ke rumah?" tanyanya sambil menyodorkan makanan. "Kamu nggak ngomong apa-apa selama dua minggu. Cuma nulis pesan di sobekan kertas."
Nazharina tertawa—suara yang langka sejak mereka berpisah.
"Aku takut sama Mama Erina. Beliau tuh... elegan. Sementara aku... cuma anak perempuan yang baru aja dipungut dari jalanan."
Arian menatapnya sejenak, bibirnya naik sedikit. "Jangan bilang kayak gitu. Kamu lebih kuat dari siapa pun yang kukenal. Bahkan lebih kuat dari Mama," ujarnya tulus.
Hening sesaat. Ia menyodorkan suapan ayam panggang ke mulut Nazharina. "Coba deh. Ini kesukaan kamu dulu."
Nazharina ragu sejenak, lalu membuka mulut, menerima suapan itu tanpa suara. Tatapannya tak lepas dari Arian, seolah mencari kebenaran di balik sikap manis yang tiba-tiba.