Dua bulan lalu.
Dering alarm berbunyi keras, tapi tak sanggup membangunkan seorang anak laki-laki remaja meski sudah setengah jam tidak henti bersuara.
“Laut! Lauuut!” gema ayahnya berseru hampir ke tiap sudut rua-ngan. “Bangun! Kau bisa kelaut[1]!”
Kesal pria berkepala lima itu membuka tirai dengan keras. Menyilakan cahaya matahari menusuk wajah anaknya yang masih pulas tertidur. Ia lihat muka putranya sekali lagi, bahkan walau sekujur tubuhnya telah terpapar sinar, tak ada tanda-tanda ia akan bangun.
“Anak ini,” gerutunya. Setelah mengembus napas, pria itu menyingkirkan selimut lalu menarik kaki anaknya keras sampai jatuh dari kasur.
Brak!
Anak laki-laki remaja yang dipanggil Laut akhirnya terbangun setelah kepalanya terbentur keras. Dengan setengah nyawa, ia duduk sambil mengusap kepalanya.
“Bangunlah, aku juga mesti berangkat sekarang.” ucap si Ayah meninggalkan kamar anaknya.
Laut memandang ke arah jam weker, samar, tapi ia coba fokuskan sampai membuat matanya terbelalak. Jam tujuh kurang dua puluh menit! Segera ia bersiap berangkat karena perjalanan menuju sekolah memakan waktu sedikitnya setengah jam.
Melihat anaknya yang kebut-kebutan menyiapkan diri, sampai melupakan sarapan membuat pria beruban itu kembali mengeluh. “Kenapa kau bisa diterima di SMA favorit kalau bangun saja selalu kesiangan?” tanya ayahnya dengan tetap menyantap sarapannya.
“Aku belajar sampai malam,” kata Laut sembari memakai sepatu.
“Bilang saja kau malas bangun,”
“Mana mungkin?” tanggapnya sambil meraih kunci motor dari atas meja. “aku pinjam ini,”