“Jadi dia memang pimpinan mafia?” hati Darius berkata lirih. Keterkejutan masih membuatnya terpaku untuk waktu yang lama sampai sebuah dering ponsel menyadarkannya.
“Handphone siapa ini?” bisik batinnya.
Diangkatnya ponsel itu dan seketika Darius sadar kalau itu adalah milik Angkasa. Namun yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana bisa handphone-nya ketinggalan?
Otak Darius mengulang apa yang terjadi sebelumnya dan ia mendapati kalau Angkasa sempat membungkuk sebelum akhirnya pamit bersama anaknya. Mungkin saja itu penyebab ponsel ayahnya Laut jatuh dan tergeletak di ruangannya.
Tangan Darius mendadak bergetar kala siapa teringat pemiliknya, tapi rasa ingin tahu memaksa jemarinya menekan layar hingga membuka notifikasi yang baru saja masuk. Nomor tak dikenal mengirim pesan yang membuatnya tercengang.
“Kau pikir semuanya berakhir? Akan kukirim kau ke neraka!”
Rasa panik yang berlebih membuatnya lupa cara bernapas. Dada Darius kembang kempis, berusaha mengambil oksigen lebih banyak dari udara lepas. Matanya terbelalak dan pori-pori kulitnya mengeluarkan keringat berlebih.
“Bagaimana ini? Ayahnya Laut dalam bahaya!” batin Darius kembali berseru. Ia mondar-mandir di ruangannya untuk beberapa saat sampai akhirnya mengambil ponsel miliknya lalu menyalin nomor Laut dan meneleponnya.
Sekali, dua kali, hingga berulang kali teleponnya tak terjawab makin membuat risau dirinya. “Kenapa nomornya ga aktif?!”
Geram nan panik membuat otaknya memanas sampai hampir membanting ponselnya.
“Aku tidak boleh begini. Aku harus telepon polisi!” tutur Darius mantap.
Namun sekali lagi kedilemaan muncul dan menggoyahkan keputusannya. “Apa yang harus kukatakan ke polisi? Dia itu mantan mafia! Pimpinannya pula! Apa kubiarkan saja? Toh dia juga penjahat.”
Sesaat matanya terfokus akan wallpaper pada ponsel Angkasa. Itu adalah sebuah foto keluarga yang harmonis di mana Angkasa masih terlihat muda dan Laut yang mungkin baru berusia lima tahun serta seorang wanita yang tengah hamil besar.
“Ini ibunya Laut? Apa dia meninggal saat hamil?” lagi-lagi hati Darius berbisik lirih. “Sialaaan!” teriaknya. “Aku takkan membiarkan anak rajin sepertimu kehilangan orang tuamu lagi!” tegas Darius lalu mengambil jaket dan kunci mobilnya.
***
Di salah satu gang sempit yang sukar dilalui pejalan kaki, terlebih para pengendara. Lima orang preman mengerubungi Laut. Semua bawaanya telah diambil, tapi pria itu masih bergeming dengan tetap memberikan tatapan tajam.
“Hey lihat bocah ini!” salah seorang preman dengan tato tengkorak pada lengan kanannya berseru.
“Apa bocah ini mau nangis?” sahut rekannya yang memakai sweater.