“Mas,” kata Bulan pada suaminya yang sedari tadi masih mematung di depan kamar Laut.
“Biasanya dia tidak begini,”
“Kalian berdua itu mirip. Aku masih ingat, waktu—”
“Aku akan bicara dengannya,” serobot Angkasa.
“Sudah biar aku saja,” cegah Bulan. “Kalau kau masuk, kalian bisa berkelahi nanti,”
Angkasa mengembus napas lalu turun ke ruang utama. “Kalau benar kami mirip, kau pasti bisa membuatnya tenang,”
“Tentu saja! Aku kan ibunya,” ucap Bulan. “Kau mau ke mana?”
“Kalau kau menenangkan anak itu. Aku akan mengurus sisanya,”
“Tunggu!” seru Bulan yang dihiraukan oleh Angkasa. Wanita itu menghela napas kesal. “Dasar pria itu. Lakukan saja sesukamu!” gerutunya lalu masuk ke kamar Laut dan menutup pintu.
Bocah yang baru saja memukuli teman sekelas juga gurunya sampai dibawa ke rumah sakit masih diam menatap ke luar jendela. Luka pada tubuhnya masih baru, bahkan darah merembes keluar perban yang menutupinya.
“Apa yang kau lihat?”
“Kebebasan,” jawabnya tanpa mengalihkan pandangan. “Kenapa memberiku nama Laut? Langit jauh lebih baik, dia lebih luas,”
Bulan mendekat dan mengelus kepala anaknya penuh kasih. “Apa laut tidak seindah itu?”
“Mungkin. Aku belum pernah lihat langsung, hanya dari gambar,”
“Mau pergi ke sana?” tanya Bulan dengan senyum merekah pada wajahnya.
“Kapan kalian ada waktu?” Laut balik bertanya membuat dahi ibunya mengerut.
Memang dalam beberapa bulan ini ia dan suaminya disibukkan oleh urusan ini itu yang sangat penting dan mendesak. Terlebih setelah Bulan tahu kalau dirinya hamil, buatnya makin tak ada waktu bersama suami dan anaknya seperti biasa. Ia menyadari kurangnya kehadiran orang tua, bisa jadi yang membuat Laut menjadi emosional, meski tetap saja ia tidak menyukai tindakan yang dilakukan anaknya itu. Namun Bulan tetap mempertahankan seringainya.
“Duduk sini,” ajaknya yang langsung dituruti oleh Laut tanpa kata. “Kita akan pergi besok kalau kau berjanji tidak akan berkelahi lagi,”
Anak berumur 5 tahun itu menunduk kepala. “Maafkan aku,”
“Kau menyesal?”
Laut tidak menjawab. Kepalanya masih terduduk. Sementara kedua tangannya mengepal. Bulan menyadari kalau anaknya sedang menahan emosi. Perilakunya sangat mirip dengan Angkasa.
“Kenapa berkelahi dengan mereka?”
Melihat anaknya takkan merespons, Bulan kembali melanjutkan pertanyaannya. “Apa mereka pantas dipukul?”
Mendengar itu Laut menjawab dengan tatapan tajam. “Aku hanya memukul mereka yang pantas dipukul,”
Bulan menanggapi dengan pandangan yang tak kalah menusuk. Selang beberapa detik keduanya diam, hanya saling bertukar mata sampai akhirnya keheningan itu pecah karena Bulan tertawa. “Kau sangat mirip dengan Angkasa,”
Laut hanya menyungging sudut mulutnya.
“Aku tidak tahu apa yang ayahmu ajarkan saat aku tidak bersama kalian, tapi dengarkan ini baik-baik, tidak semua hal bisa diselesaikan dengan kekerasan. Ada kalanya diam dan membiarkan jauh lebih baik,” ucap Bulan berargumen.
“Bagaimana kalau mereka tidak mau berhenti?”
Respons Laut yang cepat membuat Bulan terkejut, tapi ia berusaha menutupinya. “Kau bisa menakuti mereka,”
“Bagaimana caranya?”
“Tatapan matamu sangat tajam. Gunakan itu, pasti mereka akan takut,”
“Apa itu akan berhasil?”