Sirine ambulans berbunyi cepat bertubrukan dengan suara hujan. Mobil putih itu menerobos jalan sambil memaksa para sopir menepikan kendaraan mereka. Di dalamnya paramedis[1] memaksimalkan keterampilan juga pengalaman mereka demi menyelamatkan nyawa orang-orang yang mereka bawa.
Ghazi salah satunya. Pria 22 tahun itu berada dalam kondisi yang memprihatinkan. Mukanya benar-benar hancur, tulang kepalanya pecah dan terus saja mengeluarkan darah walau petugas gawat daru-rat telah menutupnya. Namun kendati separah itu, kesadaran Ghazi mulai kembali. Kelopak matanya terbuka, dan ia bisa melihat apa saja yang dilakukan petugas medis terhadap dirinya meski samar, kendati telinganya tak bisa menghasilkan suara selain ’Nging’, dan walau tubuhnya tidak bisa merasakan apa pun.
Otak Ghazi bertanya-tanya, “Apakah aku akan mati kali ini? Tapi kalau aku mati, bagaimana dengan Fara? Padahal aku sudah berjanji, takkan meninggalkannya lagi. Sialan!”
Kemudian semuanya memudar dan menghitam. Ghazi tidak tahu apalagi yang terjadi. Ia hanya menyerahkan seluruh inderanya pada keheningan dan kesendirian. Layaknya orang yang tenggelam ke dasar laut yang dalam.
***
Sejak kecil, Ghazi selalu sendirian. Ayahnya sibuk dengan pertan-dingan tinju, sementara ibunya lebih banyak menghabiskan waktu untuk belanja dan mempromosikan suaminya. Yang menemani Ghazi hanya kamera. Ia selalu mengagumi benda itu, sebab kamera adalah benda ajaib yang dapat menyimpan memori selamanya. Buatnya tak lagi merasa sendirian.
Semua keluarga Ghazi suka difoto olehnya. Bahkan ibunya kerap kali membagikan hasil jepretan Ghazi untuk dicetak dalam majalah, meski harus tentang ayahnya. Setidaknya itu buat Ghazi punya lebih banyak waktu untuk berkumpul bersama Ayah dan ibunya, walau sekadar sesi foto keluarga, tapi itu cukup bagi Ghazi untuk kembali merasakan hangatnya keluarga. Sayangnya, kebahagiaan tersebut tak berlangsung lama.
Ghazi bergeming dengan tatapan kosong setelah ibunya merebut dan melempar kamera Ghazi ke lantai, merusaknya sekalian meng-hancurkan berkeping-keping hati bocah yang baru berumur 7 tahun.
“Hentikan itu! Tidak ada lagi foto di rumah ini!” ibunya berteriak dengan wajah lebab. Sudah seminggu kondisinya begitu, sebab dipukuli oleh suaminya yang mengalami depresi.
Cidera parah pada mata kiri Ayah Ghazi mengharuskannya pensiun dini. Itulah yang membuat keluarganya berantakan. Waktu yang dihabiskan oleh pria itu hanya untuk mengurung diri dan mabuk-mabukkan, sampai harus menjual semua aset yang telah diperolehnya selama ini. Memaksa istri manjanya untuk menggantikan Ayah Ghazi sebagai tulang punggung keluarga.
“Ma-maafkan aku ... aku janji tidak akan mengulanginya lagi.” ucap Ghazi sambil memeluk ibunya.
Mendapati itu, seketika amarah Ibu Ghazi lenyap. Ia tidak ingin anaknya menderita seperti yang sedang ia dan suaminya alami. Wanita 34 tahun itu membalas pelukan anaknya, kemudian tangis pecah diantara keduanya.
Waktu berlalu, hingga tiba ulang tahun Ghazi. Seperti biasa, Ibu Ghazi bertanya hadiah apa yang anaknya ingin. Meski hidup tengah sangat sulit untuknya jalani.
“Aku tidak ingin apa-apa, Ibu sudah capek kerja,” kata Ghazi.
“Kau ini.... sudah katakan saja, Ibu akan membelikannya. Tapi jangan mahal-mahal,” tutur ibunya sambil melipat baju.
“Se-sebenarnya ... aku mau foto sama Ibu,” ucap Ghazi tergagap. Melihat tatapan ibunya yang tajam, seketika Ghazi memajam. Ia takut kalau-kalau akan dipukul. Namun itu tak pernah terjadi.
“Satu atau dua minggu lagi, bagaimana?” ucap ibunya dengan wajah bengkak.
Namun, meski telah menunggu empat belas hari lamanya, wajah Ibu Ghazi masih saja babak belur.
“Lagi-lagi,” kata Ghazi tersentak melihat kondisi ibunya. “Ibu dipukuli Ayah?”
“Apa yang kau katakan? Mana mungkin ayahmu memukuli Ibu,” jawab ibunya.
“Terus? Kenapa sama wajah Ibu?” tanya Ghazi.
“Ini? Ini karena kerjaan Ibu,”
“Kalau begitu, keluar saja Bu!”
“Kau ini bicara apa? Kalau Ibu tidak kerja, kita tidak bisa makan, kamu juga ga bisa sekolah. Sudah, jangan ngomong aneh-aneh, Ibu mau istirahat.” tutur Ibu Ghazi sambil masuk ke kamarnya.
Ghazi diam, tidak lagi menjawab. Mulutnya terkatup dengan gigi gemeletuk. Ia tidak tahu harus berkata apa. Sebab tanpa seorang pun di rumahnya yang tahu kalau sebenarnya Ghazi berulang kali melihat secara langsung saat Ibu Ghazi dipukuli oleh ayahnya.
***
Pagi itu hari libur, Ghazi tidak perlu berangkat ke sekolah. Ia terus saja melihat ke arah ibunya yang sibuk membereskan rumah, seperti biasa, itu adalah rutinitas yang harus Ibu Ghazi lakukan sebelum berangkat kerja. Lagi pula, wanita itu tidak memiliki waktu libur meski sehari saja.
Menyadari ada yang aneh dengan pandangan anaknya, Ibu Ghazi berkata, “Ada apa? Kau mau ngomong apa?”