Temanggung, 13 Maret 2020 (12 hari virus corona di Indonesia)
Hari ini tepat seminggu jelang akad pernikahanku. Dan bukannya girang sebab sebentar lagi akan disatukan dengan belahan jiwa tersayang, isi kepalaku justru baru semrawut-semrawutnya bak benang kusut. Bagaimana tidak, sampai saat ini, belum ada satu pun kabar menggembirakan tentang corona! Semua berita yang beredar pasti menyisakan rentetan kengerian. Aku sungguh berharap pemerintah segera menemukan formula untuk setidaknya memperlambat gerak corona hingga acara pernikahanku selesai digelar. Ya, tak ada hal lain yang kuinginkan sekarang. Aku hanya ingin prosesi pernikahanku dilangsungkan sesuai dengan rencana. Tak muluk-muluk, cukup perayaan sederhana seperti pada umumnya. Sudah itu saja!
Akibat terus kepikiran masalah corona, makan dan minumku jadi tak senikmat sebelumnya. Sorot mataku pun jadi kian memudar. Itu yang dikatakan oleh Ine, terapis gigi asistenku, yang saban hari diam-diam mengawasi perubahan rupa fisikku. Entahlah, aku sendiri tak menyadarinya. Akhir-akhir ini aku memang jarang memperhatikan penampilan.
Dan pagi itu, begitu sampai di ruang klinik, Ine kembali membangkitkan kegamanganku dengan bertanya, “Mana Dok undangan nikahannya? Katanya hari ini mau dibawa. Aku pingin lihat. Penasaran.”
Aku pun lekas meletakkan sekantong plastik di atas meja lantas mengurai ikatannya yang rupanya tersimpul mati. “Ini,” tunjukku sambil tersenyum tawar.
Kemudian, pak Joko, salah satu asistenku yang lain, membantuku mengeluarkan setumpuk undangan dari dalam plastik, lantas mengelompokkannya sesuai dengan kriteria tertentu. Ia meletakkan masing-masing kelompok secara berjauh-jauhan. “Yang ini untuk bu direktur, bu wadir, pak wadir, kabid, dan semua pejabat struktural kantor,” katanya sambil menunjuk dengan jari telunjuk. “Ini untuk kepala instalasi, ini untuk kepala bangsal, dan yang ini untuk para dokter, silakan njenengan1 bawa sendiri. Sisanya saya bantu bagikan. Pokoknya sesuai dengan janji saya, untuk masalah undangan ini, njenengan terima beres.”
Alhamdulillah, batinku lega. Untung saja pak Joko, Ine, dan teman-teman seruangan yang lain benar-benar bisa diandalkan. Mereka sungguh peka dengan kondisiku saat ini yang harus kuakui memang sedang tidak baik-baik saja. Terutama dalam urusan pernikahan, mereka sangat hati-hati dalam bertutur kata serta pintar menjaga perasaan.
Tak lama berselang, dokter gigi Lisa atau yang biasa kupanggil dengan sebutan mbak Lisa, pedodontis2 rumah sakit kami, datang memasuki ruangan sembari melemparkan salamnya yang khas. Suaranya yang nyaring terdengar menggaung sampai pucuk-pucuk lorong. Ia seperti biasanya, mengenakan scrub lengan panjang dengan motif karakter animasi lucu yang banyak digemari anak-anak. Setelah masuk ruangan, ditaruhnya tas jinjing kecil bawaannya ke atas kursi yang ditata tepat di samping kursiku.
Seketika matanya bercahaya melihat tumpukan undangan yang berkilauan ditimpa sinar lampu ruangan. “Eh, ini undangan nikahanmu, ya Dik?”
Aku mengangguk.
“Coba aku lihat undangannya, ya!” pinta mbak Lisa lumayan tertarik.
Aku menyerahkan satu sampel barang yang dipintanya sambil mengacungkan jempol tangan kanan ke depan. “Silaken”.
Ia pun menerimanya. Dan begitu lembaran dibentangkan, bibir mbak Lisa refleks bergerak komat-kamit. Dipindainya tulisan dari atas sampai bawah dan dari kiri ke kanan dengan saksama. Sampai tak ada satu kata pun yang terlewat.
Menatapnya begitu antusias tatkala membaca secarik undangan itu lamat-lamat mengingatkanku betapa 3 bulan terakhir ini, aku cukup sering merepotkannya. Mbak Lisa terkadang sampai harus meluangkan waktu khusus untukku supaya aku bisa mendiskusikan berbagai macam pembahasan terkait persiapan nikahan. Aku juga acapkali meminta bantuannya untuk mencari tahu informasi tentang bermacam-macam vendor, mulai dari tukang make up, gedung pernikahan, desain undangan, dekorasi, hingga dokumentasi. Ia pun tahu betul pontang-pantingku belakangan ini demi memastikan tak ada satu tahapan pun yang terlewat.
Usai melumat seluruh informasi dari goresan yang ada dalam undangan, mbak Lisa kembali berujar, “Ya-ya-ya, Dik. Semoga dilancarkan ya sampai hari H. Gimana persiapannya sejauh ini?”
“Alhamdulillah lancar, Mbak … doakan ya, mbak Lisa dan teman-teman semua, semoga situasi makin membaik dan aku bisa menggelar hajatan dengan leluasa.”
“Aamiiin,” respons mbak Lisa cepat. “Bismillah sama doa yang kenceng jangan lupa. Nikah hanya sekali seumur hidup, jadi harus dibuat happy. Nggak boleh dibawa stres. Fokus sama diri kamu sendiri, jangan sering nething. Apalagi dengerin omongan orang julid.”
“Ya, Mbak. Terima kasih banyak ya.”
“Yowis … yuk, Dik, sekarang naik! Mumpung belum ada pasien. Sudah jam 8 lewat ini,” kata mbak Lisa sambil menunjukkan arloji yang melingkari pergelangan tangan kirinya. “Jangan lupa undangan untuk para dokter dibawa sekalian!” katanya lagi mengingatkanku.