Wedding in Pandemic

Tinta Teje
Chapter #2

Polisi Sahabat Dokter Gigi

Ada 3 lembar salinan STR1 yang kumiliki sebagai dokter gigi. Ketiganya bisa kupakai untuk praktik medis di tiga tempat yang berbeda. Dan sementara salinan yang ke-2 kugunakan untuk praktik di rumah sakit daerah, salinan pertama telah lebih dulu kumanfaatkan sebagai salah satu syarat bekerja di sebuah klinik milik instansi kepolisian.

Klinik itu tak lain ialah Klinik Pratama Bhayangkara kepunyaan Polres Temanggung. Aku sudah lebih dulu bekerja di tempat itu sebelum diangkat menjadi PNS di RSUD tahun lalu. Dan aku masih bertahan sampai sekarang karena sudah kadung merasa nyaman. Nyaman dengan lingkungannya dan senang dengan orang-orangnya. Berada di klinik itu juga merupakan solusi alternatif atas kegagalanku di masa lalu. Kalau kutarik garis mundur, sebenarnya hampir saja aku berhasil menjadi polisi kalau bisa melaju mulus pada tes kesehatan tahap 1 Seleksi Inspektur Polisi Sumber Sarjana (SIPSS) tahun 2016 serta tidak mentok pada tahap Penelusuran Mental Kepribadian untuk seleksi yang sama pada tahun 2017. Kalau waktu itu lolos, mungkin sekarang aku sudah dipromosikan menjadi perwira berbalok dua.

Tahun ini sudah masuk tahun ketigaku sebagai dokter mitra. Dan selama 3 tahun belakangan, aku sudah merawat banyak sekali keluhan gigi pasien yang kebanyakan adalah polisi dan keluarganya. Mereka datang dengan beragam latar belakang. Pernah ada anggota dari tingkat tamtama2, paling banyak dari bintara, dan sedikit di antara mereka ada yang sudah berpangkat perwira. Aku sudah pernah mencabut gigi susu yang kesundulan milik putra kapolres3, menambal gigi berlubang dari seorang kasat4 atau paur, mencabut sisa akar gigi milik seorang kasi, membersihkan karang gigi punya kabag sekaligus kasubag, dan hampir tiap kali praktik dikunjungi oleh bamin5 atau banum yang punya permasalahan gigi. Dari seluruh polsek maupun polsubsek yang tersebar di 20 kecamatan di kabupaten Temanggung, hanya dua kecamatan yang personelnya belum pernah memeriksakan giginya kepadaku.

Pekerjaan sehari-hariku di klinik dibantu oleh seorang perawat bernama mas Wahyu. Ia membantu mengasistensiku dalam hampir semua tindakan. Ia juga yang biasa menyiapkan, membereskan sekaligus mensterilkan alat; memantau ketersediaan bahan di lemari penyimpanan; serta melaporkan kondisi perangkat yang rusak dan perlu diservis setiap bulannya. Selain mas Wahyu, ada empat pegawai lain yang biasa kujumpai di klinik. Satu orang dari mereka adalah radiografer, sementara 3 orang sisanya adalah perawat umum, sama seperti mas Wahyu.

Bersama mereka, telah kuhabiskan cukup banyak pengalaman tak terlupakan. Beberapa kali aku membersamai mereka dalam suatu sprin penugasan; menjadi tim kerja dalam sebuah bakti sosial kesehatan; terlibat dalam audiensi dengan pihak luar; serta tergabung dalam satu proyek penggalangan komitmen yang diselenggarakan di luar kota. Tahun kemarin, aku ikut dalam pengobatan massal gratis yang digagas oleh WALUBI6 di pelataran candi Borobudur. Sementara beberapa bulan yang lalu, aku berpartisipasi dalam kegiatan rikkes berkala untuk seluruh personel kepolisian sekabupaten Temanggung yang jumlahnya ada lebih dari 400-an orang.

Sore ini, sehabis memeriksa gigi pak kasatresnarkoba yang datang untuk kedua kalinya demi kontrol perawatan, aku berjalan ke ruang tengah. Kujumpai empat orang pegawai yang tengah bersantai setelah seharian ini melayani pemeriksaan kesehatan umum dan pengecekan urine bebas narkoba. Mereka semua sedang duduk di atas sofa sambil menonton berita depan layar kaca. Aku pun membaur ikut memperhatikan.

Tepat pukul 3 sore, siaran headline news metro TV menayangkan kilasan berita cepat dengan urutan sebagai berikut: pertama, kerugian industri pariwisata di Indonesia sebesar 21 triliun dinyatakan oleh Hariyadi Sukamdani selaku ketua umum perhimpunan hotel dan restoran Indonesia. Ia menyebut kalau tingkat okupansi hotel di Jakarta hanya sebesar 30 persen saja, dari yang biasanya mencapai lebih dari 50 persen. Berikutnya, sebesar 40 triliun dana asing keluar dari pasar keuangan Indonesia imbas merebaknya virus corona. Kilasan wawancara singkat oleh Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo menggambarkan betapa corona telah menyebabkan ketidakpastian global. Dan yang terakhir adalah berita WHO yang menyurati presiden Jokowi untuk menetapkan corona sebagai bencana darurat nasional.

Lihat selengkapnya