Sepuluh tahun telah berselang tanpa ada kesan apa pun untuk dikenang. Dan kini, aku memandangnya lagi dengan perasaan yang berbeda. Wajahnya tambah ayu makin membuatku kesengsem tanpa jemu. Ia, perempuan yang belakangan selalu membikin jantungku dag-dig-dug itu, diberi nama Namira oleh kedua orang tuanya. Ibunya kupanggil dengan sebutan ibu Maya, sementara bapaknya adalah seseorang yang telah almarhum sejak beberapa tahun yang lalu, sama seperti ayahku. Namira memiliki seorang kakak perempuan yang telah berkeluarga serta 2 orang adik yang masih melajang. Mereka semua, kecuali kakak yang telah diperistri, tinggal di sebuah kampung bernama Awipari. Kampung ini terletak 200 meter sebelah barat jalur lingkar barat Jogja dan saat ini masuk ke dalam wilayah administrasi kapanewon Gamping.
Selain menjadi tempat asal bagi Namira, Awipari juga merupakan kawasan yang punya tempat khusus di hatiku. Bahkan merupakan rumah kedua bagiku. Di kampung itu, aku pernah menetap selama 10 tahun: 3 tahun jenjang SMA dan 7 tahun masa kuliah. Aku tinggal di pesantren yang dikelola oleh budeku sendiri. Kata ibu sewaktu awal menyantri dulu, aku dititipkan ke bude Zulfa, selain supaya mendapat bonus belajar ilmu agama, juga agar bisa menghemat biaya. “Aku sanggup menyubsidi kebutuhan makan dan minum si Teje,” janji bude Zulfa yang kuingat sampai saat ini.
Pesantren yang kudiami itu jaraknya relatif dekat dengan rumah Namira. Hanya disela sebuah jalan kampung dan beberapa rumah saja. Kutaksir hanya sekitar 50-an meter saja. Dan selama jangka menyantri yang pernah kulalui itu, saban hari aku berlanglang lewat depan rumahnya yang memang terletak tepat menghadap jalan kampung utama. Oleh karena itu, mungkin bisa dikatakan kalau posisi rumahnya adalah stimulan awal untuk tercipta koneksi yang intim antara kami berdua.
Sementara stimulan yang kedua adalah letak sekolah kami. Selisih usiaku dengan Namira tepat 3 tahun. Saat aku duduk di bangku MAN 1, dia masih studi di kursi SMP 6. MAN 1 berada tepat di ujung utara jalan Cornelis Simanjuntak, sementara SMP 6 ada di pucuk timur jalan Wolter Monginsidi. Jadilah sekolah kami dilintasi bus dengan trayek rute yang sama: jalur 15. Oleh karena itu, selama studi 3 tahun itu, disadari atau tidak, terkadang kami berbagi Aspada, Damri, atau Puskopkar yang sama pula.
Dan selama perjumpaan-perjumpaan itu, sejujurnya aku cukup familier dengan wajahnya. Aku mengidentifikasi Namira sebagai gadis jilbab style madrasah dengan tubuh lumayan tambun, sementara ia mengenaliku sebagai pemuda deragem1 kupluk putih dengan kacamata bingkai bening. Ya, pada hari-hari selanjutnya ketika kami berhubungan secara lebih intens, akhirnya ia mengakui juga kalau dulu diam-diam mengamatiku. Tetapi sayangnya, sepanjang 3 tahun itu, kami tak pernah berbincang walau sepatah kata pun.
Selepas lulus Aliah, aku lanjut studi ke kampus biru dan masih bermukim di kampung Awipari, sementara ia meneruskan belajarnya sekaligus nyantri di pesantren Sunan Pandanaran di jalan Kaliurang. Jadilah perjumpaan kami seakan berakhir begitu saja. Tak ada impresi apa pun yang menggurat karena memang tak ada sedikit pun afeksi yang terlibat. Apalagi sebuah firasat! Tak ada sama sekali.
Setahun belakangan, aku baru mulai benar-benar berinteraksi dengan Namira setelah seorang teman bergadang tiba-tiba menjelma comblang. Sejak saat itu dan seterusnya, komunikasiku dengan Namira berjalan cukup lancar dan makin dinamis. Nyambung satu sama lain. Kecocokan kami berdua bahkan lebih banyak dari yang kami duga sebelumnya. Di pesantren, bidang kajian yang kudalami adalah gramatika bahasa Arab, sama dengan prodi kuliah Namira, sementara jurusan yang ia harapkan untuk anaknya kelak adalah kedokteran gigi, sama dengan pilihan yang kuambil.
Kemiripan kami lainnya terdeskripsikan ke dalam hal-hal yang antara lain: sama-sama penggemar mi ayam hotplate; penyegan kecap manis; raconteur2 yang payah; pengeklaim diri sebagai realis yang visioner; pendukung seratus persen film lokal; pembenci film horor; pengagum Pram; serta penganggap cerpen pilihan Kompas sebagai antologi fiksi prosa berbahasa Indonesia terbaik.
Dan mungkin karena memang sudah berjodoh, jalan kami berdua begitu mulus. Selama masa perkenalan dan penjajakan, kami sama sekali tak menemui kendala yang berarti. Tatkala memasuki ranah keluarga besar, tak butuh waktu lama bagi ibuku dan ibu Maya untuk merestui hubungan kami. Aku dan Namira lantas mantap memutuskan tanggal pernikahan usai pada bulan Juli tahun lalu, aku mengikatnya dalam sebuah prosesi lamaran yang bersahaja.