Wedding in Pandemic

S Tajudin
Chapter #5

Hiburan untuk Hadirin

Sabtu, 14 Maret 2020

Lazy saturday hanyalah mitos bagi kami, pegawai dengan aturan 6 hari kerja. Terlebih untukku, kerepotanku justru mencapai klimaksnya pada hari Sabtu. Ada lebih banyak janjian untuk kontrol perawatan. Juga makin beragam problem gigi untuk ditangani. Intinya, pasienku malah tambah melimpah. Dan tidak salah juga kalau hari Sabtu kukatakan sebagai hari merawat karyawan 5 hari kerja. Mereka yang hari ini libur kerja itu jumlahnya cukup banyak. Kebanyakan berasal dari kalangan PNS kedinasan, tapi ada pula yang dari lingkungan swasta seperti banker atau karyawan pabrik. Meski riuh dan acapkali membuat capai, aku sama sekali tak keberatan dengan kehadiran mereka karena justru menjadi tambahan pundi-pundi rezekiku.

Dan pagi ini, lebih dari setengah jam yang lalu sejak memulai pelayanan, aku masih berkutat dengan pasien cabut gigi yang sedari tadi menelentang pasrah di kursi perawatan. Pasien di hadapanku itu, meski sudah menghabiskan bergelas-gelas air kumur, berhelai-helai sekaan tisu gulung, dan berlembar-lembar potongan kain kasa, tetapi keluhannya belum juga bisa kupecahkan. Jujur saja, kasusnya ternyata cukup sulit.

Telah sekian teknik kulakukan demi mengeluarkan sisa akar gigi yang tertinggal sebab pencabutan sebelumnya yang tidak sempurna. Radiks1 belakang kiri bawah itu telah coba kuungkit dari sisi mesial2, kuumpil dari arah distal3, dan sesekali kuungkil tipis-tipis dari bukal4. Sudah beberapa model alat juga yang kuambil dari lemari penyimpanan, tetapi gigi yang jadi pusat keprihatinan kami benar-benar bandel tak mau diajak kompromi. Ukuran mulut pasien yang relatif sempit, kondisi tegang karena trauma bawaan dari proses pencabutan sebelumnya, serta arah tumbuh gigi depannya yang miring membuat visibilitas menjadi amat terbatas. Alhasil, tang dan elevator5 gigi menjadi susah untuk diaplikasikan secara maksimal.

Bulir-bulir keringatku sampai mencucur deras dari pori-pori kening hingga membuat topi operasiku basah kuyup. Hatiku merutuk, andai saja sebelum perawatan dilakukan, pasien dirontgen terlebih dahulu. Tapi nasi telah menjadi bubur. Sungguh pagi itu aku telah salah perhitungan. Kasus yang awalnya tampak mudah dipecahkan ternyata malah membutuhkan usaha ekstra. Aku pun berjanji dalam hati jika gigi problematik itu tak kunjung menunjukkan progres juga setelah percobaan satu serial ungkitan, aku akan langsung mengoperasinya.

Untungnya, setelah kugoyang-goyang barang beberapa kali, sisa akar gigi itu akhirnya mau juga dikeluarkan secara utuh. Sambil membuang sarung tangan dan topi bedah ke tong sampah, aku mengeretek jari-jari tangan dengan lemah. Beban yang tadi mengganjal berat kini menguap habis setelah kasus ini akhirnya mencapai garis finis. Ine yang sedari tadi mengasisteni juga merasa plong. Kepalanya digerak-gerakkan ke kanan dan lalu ke kiri berkali-kali karena pegal. Pasien pun tak kalah bahagia berulang kali mengucap terima kasih meski dengan raut lesu menahan kaku dan capai akibat terlalu lama membuka mulut.

Pekerjaan di klinik gigi lalu berlanjut untuk pasien-pasien berikutnya. Satu per satu masuk menyampaikan keluhannya. Ada yang oversharing ketika diminta menceritakan kronologi suatu proses nyeri dan adapula yang mesti dipancing-pancing agar terkorek suatu fakta genetik yang ada pada garis famili. Aku berusaha telaten meladeni permasalahan mereka yang hampir kesemuanya tidak cukup diselesaikan melalui meja konsultasi.

Sampai tutup pendaftaran, total keseluruhan terdapat 17 pasien, dengan 11 diantaranya memerlukan tindakan penanganan. Jumlah sebanyak itu memang relatif sedikit dibandingkan dengan pasien klinik lain, tapi cukup membuat pinggang dan punggungku sengal. Oleh sebab itu, bermain gawai biasa kulakukan sebagai kegiatan lanjutan untuk peregangan. Siang itu, tak seperti biasanya, tiba-tiba aku begitu penasaran dengan status teman-teman.

Melihat semua unggahan dari daftar SW6 makin meyakinkanku kalau orang-orang yang ada di sekelilingku tengah mencipta sebuah fenomena baru. Mereka, yang kemarin-kemarin tak pernah memosting selain hal-hal receh, kini ramai-ramai membagikan poster tentang disiplin 3M. Meski dengan desain yang berbeda-beda, logo instansi yang berupa-rupa, tetapi substansinya tetap sama; 3M sebagai protokol kesehatan untuk mencegah penularan penyakit lewat droplet dan udara berupa: (1) memakai masker, (2) mencuci tangan dengan sabun, serta (3) menjaga jarak. Kurang lebih begitu.

Aku juga bisa memastikan kalau teman-temanku itu belakangan makin santer membikin status tentang pencegahan corona. Ada yang menyorot permasalahan germas, ada yang fokus pada PHBS7, dan ada juga poster corona lainnya yang kadang membuat pikiranku terpantik saat teringat akan momen pernikahan. Dan alih-alih bisa stres karena akan terus kepikiran, lebih baik aku belajar menguasai seni bersikap masa bodoh dengan gambar-gambar yang mereka bagikan.

Saat beralih ke menu Chat, tampak 4 grup besar bertengger mengisi barisan teratas. Keempatnya seakan berkejar-kejaran untuk meraih rekor jumlah pesan terbanyak pada antarmuka aplikasiku. Kalian tahu, sudah lebih dari 2 minggu ini, anggota dalam grup-grup itu mendiskusikan perkara corona secara tak berkesudahan. Aku sebenarnya peduli, bahkan cukup penasaran dengan detail yang sedang mereka bahas, tapi jujur saja, hatiku dag-dig-dug agak was-was saat mengeceknya.

Lihat selengkapnya