Wedding in Pandemic

S Tajudin
Chapter #6

Liku-Liku Hari Minggu

15 Maret 2020

Degup jantungku yang semula berdenyut kencang kini beringsut melambat. Kuraba-raba kulit area pipi demi memastikan apa yang terjadi barusan memang hanya sebuah mimpi. Syukurlah, gigi-gigiku masih utuh! Tak ada satu pun yang rompal seperti kilasan peristiwa yang berlangsung kilat sesaat yang lalu.

Sembari menyandar pada headboard, kustabilkan ritme denyut jantung yang sebentar tadi masih berdetak tak keruan. Jeda tak begitu lama, ketukan pintu dari luar kamar terdengar membombardir tanpa birama.

“Ayo bangun!” ucap suara dari balik ruangan. Tok tok tok. Ayo subuhan!”

Mataku pun berkedap-kedip sembari mengumpulkan nyawa.

Pintu digedor lagi dan akan terus digedor tanpa ampun sampai aku keluar kamar. Mbak Fatih, kakak perempuan nomor dua-ku, tak akan rela membiarkanku terlelap barang 10 menit saja.

Dan kali ini aku memilih untuk tak berlama-lama membiarkannya mencak-mencak. Aku segera berdiri lantas melipat selimut. Kusibakkan gorden jendela kamar, dan ternyata hari masih cukup gelap. Aku pun duduk kembali menikmati jatah sisa tidurku.

Dor! Bagai ledakan metana yang mengejut, tiba-tiba sebersit ilham meletupkan dorongan superkuat yang memaksaku untuk lekas pergi sembahyang. Aku langsung teringat sebentar lagi akan punya hajat besar. Betul-betul kurang dari seminggu lagi! Sudah seharusnya aku lebih serius dalam berdoa dan salat. Tak berselang lama usai kesadaran penuh mengambilalih, aku lekas beranjak keluar dari kamar.

Demi embun yang mengkristal pada rerumputan Dieng di bulan Agustus, dingin sekali air subuh saat kubasahi kedua tanganku dengan pancuran wudu dari keran. Bulu kudukku otomatis merinding. Pori-pori kulitku juga tampak melebar. Rasa-rasanya kemarin tak pernah sedingin ini. Tak ada kesunahan tiga kali basuhan, batinku meronta.

Untung subuh hanya dua rakaat, yang lantas kuakhiri dengan wirid1 ringkas, dilanjutkan dengan bacaan surah alquran. Tiap pagi, hampir setiap hari sejak prosesi lamaran, aku tak pernah melewatkan bacaan arrahman dan alwaqiah. Dua surah ini kubaca sebagai ikhtiar batin supaya langkah menuju hari H lebih mulus. Supaya jalannya hajatku nanti benar-benar sesuai dengan apa yang kuinginkan.

Selesai membaca surah, sebuah doa hajat pernikahan juga tak pernah terlupa kurapalkan. Kugantungkan semua pinta lewat bentangan kedua telapak tangan yang menengadah penuh ketundukan:

Ya Allah ya Tuhanku,

Tak ada daya dan kekuatan kecuali atas pertolongan-Mu. Segala sesuatu berjalan atas kehendak-Mu. Maka, lapangkanlah hati yang sempit ini, ringankanlah beban yang terasa makin menyesakkan dada. Permudahkanlah urusan hamba dan janganlah dipersulit. Insyaallah hanya kebaikan yang ingin hamba upayakan. Semoga permasalahan corona ini segera teratasi sepenuhnya.

Kuulang kalimat terakhir sampai tiga kali, dengan mata terpejam, dan penuh pengharapan. Lalu kulanjutkan:

Wahai Yang mahateliti, lancarkanlah persiapan menuju hari H pernikahan hamba, tanpa ada hal sekecil apa pun yang terlewatkan. Muluskanlah semua rangkaian acara hamba, baik akad di Jogja, maupun resepsi di Parakan. Semoga pada hari yang telah ditunggu-tunggu nanti, cuaca senantiasa cerah sepanjang hari, tidak turun hujan, tidak mendung, tetapi tidak terlalu panas.

Wahai Yang mahamencukupi, semoga hidangan yang ada nantinya dapat memadai untuk seluruh tamu yang hadir, membuat mereka berkenan, dan jangan sampai terjadi kehabisan jamuan. Selamatkan lah keluarga hamba dan kami semua dari rasa malu.

Lagi-lagi kuulang kalimat terakhir sampai tiga kali, atau mungkin lebih. Entahlah, hitunganku seperti salah-salah. Tak bisa kubayangkan seandainya apa yang kutakutkan tersebut benar-benar terjadi. Lalu sebagai pinta selanjutnya, kususulkan:

Wahai Yang maha membolak-balikkan hati, lunakkanlah hati seluruh sinoman yang membantu acara hamba dari awal sampai akhir. Jadikanlah hati mereka lapang dada. Berikanlah kesehatan sebagai ganjaran bagi mereka semua, bagi keluarga hamba, dan juga tamu yang hadir pada acara pernikahan hamba. Semoga Engkau kabulkan hajat kami. Amin.

Dengan usapan lembut kedua telapak tangan pada wajah, kupungkasi doa lantas bangkit usai melipat sajadah.

Di luar, lamat-lamat terdengar suara tegur sapa tetangga. Meski apa yang mereka katakan tak begitu jelas, tapi aku bisa menebak siapa saja satu per satu dari mereka yang sedang berbicara. Anggota mereka diantaranya adalah ibu-ibu paruh baya yang sengaja memilih waktu pagi untuk berolahraga atau perempuan-perempuan hamil tua yang anggotanya silih berganti secara berkala. Selain kelompok itu, ada juga yang memang niat keluar untuk jogging keliling kampung, menyapu sampah depan rumah, menyiram tanaman di pekarangan, atau sekadar lewat depan gang sambil berjalan setengah timbang macam funambulis2 karena menenteng dua piring penuh bubur di tangan kanan dan kiri.

Kuamati pori-pori kulitku sudah normal kembali. Aku mulai beradaptasi dengan dinginnya udara pagi. Lantas aku bersiap-siap untuk melakukan pekerjaan rumah yang sudah lama tertunda. PR penting itu adalah menyulap kamar kosong yang sudah lama tak dipakai menjadi kamar pengantin. Kamar pribadiku sekarang tak ideal untuk manten anyar sebab ukurannya kurang luas.

Lihat selengkapnya