Wedding in Pandemic

S Tajudin
Chapter #8

The Pandemic Effects

16 Maret 2020

Meski sudah berseragam rapi Senin pagi ini, tetapi sepertinya aku akan tetap telat berangkat kerja sebab menunggui pak Salman yang sudah lebih dari setengah jam tak kunjung datang. Hari ini adalah agenda rutin ibu untuk kontrol, dan seperti biasanya ia yang mengantarkan.

Pada pemeriksaan terjadwal kali ini, aku ingin turut serta menemui dokter bedah yang merawat ibu. Aku ingin berdiskusi sedalam-dalamnya tentang perkembangan kesembuhan lukanya, sekaligus mengonfirmasi kemungkinan dan kesiapannya untuk menjadi pendamping pada akad dan resepsi pernikahanku saat hari H nanti.

Dan kami, aku dan ibu, tak bisa pergi bersama secara leluasa sebab rumah sakit tempatnya dirawat bukanlah RSUD tempatku bekerja. Waktu itu, kondisi yang begitu gawat memicu kepanikan pada diri mas Kholiq sehingga ia terpaksa mengantar ibu ke UGD rumah sakit terdekat.

Dan setelah kulongok jalan depan rumah untuk kesekian kalinya, tak kujumpai juga kendaraan yang kami nanti-nantikan. Lantas aku kembali lagi ke dalam ruangan tengah.

“Gimana, Dik? Pak Salman sudah datang?” tanya mas Kholiq kepadaku.

“Belum.”

“Kamu, kalau mau berangkat dulu, berangkat saja!” katanya lagi tegas. “Nanti telat lo!”

“Mmm … coba tak tunggu sebentar lagi,” kataku masih berharap.

“Ini waktunya nggak nutut! Lain kali saja kalau mau ketemu dokter bedah. Nanti malah pasienmu yang nunggu lama.”

Aku mengangguk ragu. Agak kecewa.

Di ruang tengah, ibu juga telah siap menanti kedatangan pak Salman. Ia duduk menyandar pada sandaran kursi sementara kedua kakinya dibalut kaos kaki tebal tak menapak penuh pada lantai. Tatapannya sendu melihat maraton berita yang sedang ditayangkan pada layar TV: Ada AHY yang terpilih secara aklamasi menjadi ketua umum partai Demokrat; adapula presiden Jokowi yang akhirnya menjalani tes corona setelah berkontak dengan pak Menhub, lalu lagi-lagi rentetan berita tentang corona yang tiada habisnya. Ingin sekali ku-skip semua tayangan itu.

Satu-satunya berita yang membuatku girang adalah kesuksesan duet Praveen Jordan dan Melati Daeva Oktavianti sebagai kampiun All England partai ganda campuran. Sebagai penggemar bulu tangkis, berita yang terakhir itu betul-betul memberikan energi positif di tengah gempuran berita corona.

Di samping ibu, ada Akila yang telah selesai dengan suapan terakhir sarapan kesukaannya. Ia begitu menggemari telur ceplok seolah tak ada menu lain yang mampu menggantikan posisinya. Usai sarapan, ia berpamitan dengan mengecup punggung tangan ibu dan bapaknya, kemudian tangan neneknya dan tanganku, lantas segera berangkat ke sekolah dengan berjalan kaki.

Waktu terus berlalu dan pak Salman belum juga tercium aroma tubuhnya. Tak juga ia berkabar dengan mengirimkan pesan apabila memang kali ini berhalangan. Sampai mondar-mandir aku dibuat keluar-masuk rumah karena salah duga dengan suara raung mesin mobil yang berulang kali terdengar mendekat. Kala kuusap layar gawai untuk mengecek jam, waktu menunjukkan pukul 7 lebih 35 menit. Rasa-rasanya aku tak bisa menunggu lebih lama lagi.

Lihat selengkapnya