Wedding in Pandemic

Tinta Teje
Chapter #9

Yen Wani Aja Wedi-Wedi, Yen Wedi Aja Wani-Wani

Begitu cepatnya sebuah kabar bergulir. Lewat grup-grup keluarga dan sanak saudara. Edaran bupati pun sampai ke telinga pakde, paklik, mas, mbak, dan semua orang yang ada di sekelilingku. Hanya dalam waktu semalam saja, kerabat yang peduli dengan kondisiku langsung ancang-ancang mengagendakan pertemuan demi merespons isi surat orang nomor satu sekabupaten itu. Mereka ikut prihatin memikirkan nasib pernikahanku yang tinggal menghitung hari saja.

Dan tatkala malam itu tiba, ternyata benar, orang-orang bisa datang dengan sukarela. Sembari menunggu musyawarah dimulai, sebagian tampak mengobrol sambil nikmat menyesap tembakau lintingan berkemenyan, sementara yang lainnya sebentar-sebentar menyalakan gawai lantas menggulirkan layarnya dari atas ke bawah lalu ke atas lagi. Lantaran yang sudah berkeluarga datang dengan serta merta membawa istri dan anaknya, pertemuan dadakan kali ini malah lebih ramai dibandingkan pertemuan sinoman yang terjadwal pada malam sebelumnya.

“Apakah pembahasannya bisa dimulai?” tanya paklik Farhan tiba-tiba menyetop aneka kegiatan. Ditatapnya jam dinding samping pigura lukisan almarhum ayahku yang menunjukkan tepat pukul 8 malam.

“Dimulai sekarang bisa, paklik,” ucap mas Kholiq dari balik tirai kamar. Lalu tak lama ia muncul sambil memapah ibuku berjalan keluar.

Suasana mendadak hening. Orang-orang yang tadi banyak bicara kini diam seribu bahasa, mengalihkan perhatiannya pada ibu yang tengah kepayahan untuk duduk di atas kursi sudut. Sebagian perokok pun langsung memadamkan puntung rokoknya hingga menyisakan sedikit asap yang makin meresap dalam sekejap.

Bertindak sebagai moderator adalah sepupuku sendiri, mas Zulhaq. Ia merupakan cucu pertama sekaligus yang tertua dari trah simbah Ibrahim, kakek kami. Oleh sebab pertalian nasab itu, kami semua, adik-adik sepupu atau yang lainnya, memanggilnya dengan sapaan “mas”. Pendidikan mas Zulhaq bukan main. Ia menjadi satu-satunya dalam keluarga besar yang berhasil menamatkan bangku Al Azhar Cairo dan Ummul Qura Makkah sekaligus.

Usai menyampaikan mukadimah seperlunya, mas Zulhaq lantas mengarahkan pembahasan langsung menuju intinya dengan membaca butir-butir yang ada dalam edaran, sementara yang lainnya menyimak teks dari gawainya masing-masing. “Silakan para mustamik1, yang mau menanggapi surat edaran tersebut, apakah berdampak terhadap pelaksanaan ngunduh mantu si Teje atau tidak, mohon disampaikan beserta alasannya sekaligus!”

Suasana senyap untuk sementara. Orang-orang masih belum terlihat ingin menyampaikan pendapatnya. Mereka hanya berbisik pelan dengan orang yang ada di samping kanan atau kirinya, lalu diam lagi.

Sepuluh menit lewat. Sama sekali tak ada suara terdengar atau jari mengacung. Yang ada hanya ucapan lirih dari ibu kepada mbak Fatih yang meminta tolong untuk diambilkan segelas air putih.

“Ada yang mau menyampaikan pandangan?” tanya mas Zulhaq lagi sambil mengangguk-anggukkan kepala kepada satu per satu orang yang ditatapnya. “Ayo … ayo ….,” bisiknya pelan.

Suasana masih hening.

Delapan menit berikutnya pun berlalu. Lagi-lagi belum ada yang tampak mau menyampaikan usulnya.

Agak gemas, ketua sinoman seperti punya gelagat untuk mencoba ikut angkat bicara. Dan benar saja, sekian detik berikutnya, ia mengangkat tangan kanan dan berkata, “Bapak ibu, saudara sekalian trah simbah Ibrahim, karena sepertinya tidak ada yang ingin menyampaikan pendapatnya, menurut saya acara nikahan ini sebaiknya tetap digelar saja sesuai dengan rencana. Mengapa?” tanya paklik Farhan dengan nada ingin menjelaskan. “Sebab di samping persiapan yang memang sudah sangat matang, kita semua tahu kalau aturan dari bupati ini datangnya belakangan. Saya kira masyarakat akan mengerti dan maklum dengan situasi dan kondisinya. Apakah pendapat saya ini bisa diterima?”

Betul apa yang disampaikan oleh paklik Farhan. Aku pun mengiyakannya dalam hati. Persiapan acara ini memang sudah maksimal. Sungguh melelahkan pula bagiku. Orang-orang yang pernah menikah pasti paham bagaimana rasanya mempersiapkan proses yang panjang ini. Betapa tak terhitung pula dedikasi untuk sampai ke titik ini. Dan jauh dari lubuk hati terdalam, sebenarnya aku berharap acara ngunduh mantuku ini benar-benar tetap bisa digelar sesuai agenda.

“Bagaimana ini hadirin? Kok diam saja semuanya!” seru paklik Farhan mengambilalih komando moderator. Nadanya sedikit menyentak saat bicara. “Kalau semuanya diam, berarti semua setuju ya dengan saya. Assukuutu tadullu `alan na`aam, diam berarti sepakat … acara tetap lanjut ya? Setuju ya semuaa?!” pancingnya lagi. Tampak sekali kalau ia memang tidak suka bertele-tele. Apalagi dalam memutuskan perkara, lebih baik untuk sat set das des.

Mendengar paklik Farhan sedikit menaikkan tensi bicaranya membuatku cukup heran karena ternyata orang-orang masih saja terdiam. Mereka seperti bingung mau menanggapi. Aku sampai geregetan menyayangkan sikap mereka yang seolah tak paham dengan situasi ini. Betapa pentingnya arti pertemuan ini bagiku.

Lalu kata paklik Farhan lagi, “Ayolah bapak ibu, kita ini sedang musyawarah. Jadi mohon kepada semua yang hadir untuk ikut berpartisipasi menyampaikan pendapatnya! … dan kalau masih tetap diam juga, maka lebih baik segera saya putuskan saja jika kita akan melanjutkan acara nikahan si Teje bagaimanapun konsekuensinya … kita akan tanggung bersama-sama ya! Saya sendiri siap menjadi ketua sampai akhir. Yen wani aja wedi-wedi, yen wedi aja wani-wani!2 Setuju semua?”

Hanya bergeming, orang-orang itu masih kekeh dengan sikap bungkamnya. Wajah paklik Farhan sampai menjelma merah sebab marah. Ia sekonyong-konyong bersiap untuk mengentakkan jari-jemarinya ke meja demi membuat keputusan.

Batinku mendongkol. Sungguh orang-orang yang hadir, tidak seperti tadi saat pertama kali datang. Mereka mengobrol seperti biasa. Kini seperti kerupuk disiram air. Apakah hanya seperti ini pertemuan untuk merembuk acaraku? Tak tahukah betapa suara mereka itu sangat penting dan kuharapkan?

Dan tatkala paklik akan memutuskan, om Zaki tiba-tiba memotong, “Sebentar mas Farhan, jangan terburu-buru. Sabar. Tentu keputusan malam ini tidak boleh semudah itu. Kita harus benar-benar menimbang plus dan minusnya.”

“Lah ayo dong usul. Jangan diam saja!” ujar paklik Farhan setengah bersungut-sungut. Darah di kepalanya sebentar lagi seperti mau mendidih.

Yang disuruh bicara seketika berubah ekspresi wajahnya dan memasang raut kecut.

“Saya boleh ikut berpendapat?” tanya Mas Zulhaq sambil mengacungkan tangan kanan. Ia yang seharusnya netral malah terpantik untuk ikut nimbrung,

Tak ada yang mencegah.

“Baik, di luar konteks jadi moderator ya, saya hanya ingin menyampaikan satu pandangan sederhana. Karena fokus pembahasan musyawarah kali ini ada pada surat edaran, saya kira perlu dan baik sekali untuk melihat redaksi kata yang digunakan dalam surat tersebut. Nah, menurut hemat saya, bisa jadi surat ini hanya merupakan anjuran karena redaksi yang digunakan hanyalah kata “diminta” atau “dimohon”. Tidak ada kata yang secara eksplisit menyatakan larangan seperti “dilarang”. Bukankah ragam bahasa dalam peraturan perundang-undangan harus jelas sehingga tidak menimbulkan multitafsir? Lagipula, sama sekali tidak disebutkan sanksi bagi masyarakat yang ketahuan melanggar ….”

Hadirin diam menyimak. Sebagian tampak manggut-manggut sebagai isyarat setuju.

Berseberangan dengan mas Zulhaq, om Zaki yang tadi hampir bersitegang dengan paklik Farhan kini menyuarakan pandangannya yang agak berbeda, “Ya betul. Apa yang disampaikan oleh Zulhaq bisa jadi benar bilamana penafsiran ditinjau dari sisi redaksi kata per kata. Tapi kita juga perlu melihat dari sudut pandang yang lain,” tiba-tiba ia terdiam seakan menyimpan bagian berikutnya untuk sebuah enigma.

Orang-orang pun melongo menunggui kalimat selanjutnya.

“Langsung saja, Zak. Tidak usah dramatis dan bertele-tele!” sergah paklik Farhan hingga membuat suasana kembali sedikit memanas.

“Baik. Sekarang kita lihat posisi seorang Teje,” jawab om Zaki tiba-tiba. Ucapannya sungguh mengejutkanku.

Lihat selengkapnya