17 Maret 2020
Bermotor sendirian sepanjang jalan adalah momen yang sangat efektif untuk mencipta energi positif. Secara otomatis semua indraku tersetel dalam mode aktif, yang antara lain: kedua tanganku mencengkeram setang dengan jari-jemari sesekali menarik tuas rem. Kaki kiriku luwes menginjak pedal pengoper gigi, sementara otak kecilku senantiasa terjaga menyeimbangkan posisi. Dengan kecepatan rata-rata 50-an kilometer, bersepeda motor membuat fokus dan konsentrasiku meningkat. Lidah begitu khusyuk merapal doa-doa keselamatan, sementara barisan kenangan berlarian menari-nari dalam pikiran. Sejenak, aku bisa memandang sebuah permasalahan dengan lebih bijak.
Dengan bermotor pula, kepekaanku terhadap kondisi jalan raya makin terasa. Aku sampai hafal bagian mana saja jalan yang berlubang, aspal yang tidak rata, atau rupa-rupa markah jalan pada tiap tikungan. Apakah berbentuk garis membujur utuh yang lurus atau terputus-putus. Di titik-titik tertentu pada waktu yang berdekatan setiap harinya, aku nyaris selalu berpapasan dengan mobil berlogo singa warna kristal zamrud, mobil emblem H miring dengan warna silver berplat ibu kota, serta acapkali disalip oleh truk pengangkut pupuk kompos dengan lukisan Rhoma Irama pada bagian belakang baknya. Praktis perjalanan harianku hampir selalu membuat pola.
Akan tetapi, kebiasaan harian itu mendadak berubah sejak ditiadakannya pembelajaran tatap muka untuk para siswa di sekolah. Jalanan menjadi relatif sunyi dan tidak seperti biasanya. Aku sama sekali tak menemukan pemotor berseragam sekolah yang wira-wiri sejauh laluan. Halte depan SMA dan SMP 1 Kedu yang biasanya ramai oleh pelajar pun, kini sepi tanpa penunggu sama sekali. Rasanya ada yang aneh mengingat hari ini adalah hari Selasa, bukan tanggal merah, dan bukan waktunya liburan sekolah.
Sesampai di rumah sakit, kuletakkan tas cangklong ke atas kursi, lantas naik ke lantai dua untuk menemui mbak Ema, sang personel bidang personalia. Aku langsung menghampiri mejanya yang terletak pada arah pukul 2 sesuai denah kursi kantor bagian umum dan kepegawaian. Lalu kepadanya, kukatakan bahwa secepatnya aku akan menghubungi BPBD untuk meminta kejelasan terkait izin resepsi ngunduh mantuku yang tinggal 5 hari lagi. Dan untuk itu, boleh jadi aku akan meralat waktu cuti bilamana izin acaraku ternyata tidak disetujui.
Saat mendengar penjelasanku, mbak Ema bisa memakluminya. Ia turut mendoakan yang terbaik untukku dan ikut berharap supaya urusanku bisa lancar sehingga aku tak perlu berlama-lama memastikan tanggal cuti.
Selesai dari urusan percutian, aku lekas turun untuk mengerjakan pasien. Kata pak Joko lewat pesan WA, ada tujuh pasien yang sudah menunggu. Dan begitu sampai ruangan, segera kukenakan gaun medis warna hijau lengkap dengan topi bedah dan penutup wajah. Pak Joko mulai memanggili mereka sesuai nomor urut pendaftaran.
Syukur pasien pertama hari ini bisa lancar kukerjakan. Tak ada drama ataupun kesulitan. Dan sebelum pak Joko memanggil pasien kedua, cepat-cepat aku membereskan APD sekali pakai lantas membuangnya pada tong sampah medis. Kuingat mesti segera menghubungi nomor pengaduan BPBD, khawatir draf pesan yang sudah kususun matang-matang dalam pikiran itu malah jadi terlupakan. Kalian pasti juga setuju kalau pesan yang mesti kukirimkan itu harus memenuhi standar adab dan etika, baik dari segi diksi maupun susunan kata-katanya.
Sebelum mulai mengetik, mula-mula kucuci kedua tanganku dengan air yang mengalir dan sabun. Lalu kuseka permukaan gawai yang sedari tadi tergolek di atas meja dengan tisu yang telah kubasahi dengan alkohol, termasuk bagian punggungnya yang rapat tertutup pelindung silikon. Entahlah, semua permukaan barang rasa-rasanya telah terkontaminasi oleh kuman atau virus. Tak ada yang tahu pasti apakah pasien-pasien kami di klinik gigi betul-betul dalam kondisi yang sehat atau justru telah terinfeksi oleh patogen yang belum teridentifikasi. Tak ada yang tahu pasti juga kalau sebagian kuman jahat dari pasien yang sakit itu ternyata ada yang mencolot keluar selama perawatan hingga beterbangan tak tentu arah. Oleh sebab itu, rasa aman dan nyaman dalam mengoperasikan gawai kadang didapat jika dan hanya jika permukaannya selesai didesinfeksi.
Kemudian mulai kuketik:
“Salam. Selamat pagi bapak/ibu admin BPBD Kabupaten Temanggung.”
“Mohon maaf mengganggu. Perkenankan saya memperkenalkan diri. Nama saya Tajudin. Saya salah satu ASN dokter gigi di wilayah kabupaten Temanggung.”
“Berkenaan dengan edaran bupati Temanggung nomor P/149/440/III/2020 tentang Peningkatan Kewaspadaan Menghadapi Virus Corona di Kabupaten Temanggung yang telah beredar luas, pada butir 2 tertulis bahwa seluruh masyarakat umum terhitung mulai tanggal 16 Maret 2020 diminta menunda atau membatalkan kegiatan pertemuan yang melibatkan banyak orang, termasuk hajatan, sampai adanya pemberitahuan lebih lanjut. Saya mohon Bapak/Ibu berkenan memberikan penjelasan tentang butir tersebut bagaimana batasan-batasannya. Apakah benar-benar tidak ada toleransi sama sekali?”
“Izin menyampaikan kondisi saya sekarang, Bapak/Ibu. Saya sedang dalam tahap menuju pernikahan saya yang akan digelar pada Jumat tanggal 20 Maret 2020 (akad di luar kota) dan Minggu tanggal 22 Maret 2020 (resepsi ngunduh mantu di Parakan). Dan jujur saja, persiapan selama berbulan-bulan untuk mewujudkan hari tersebut sudah cukup menguras biaya, tenaga, waktu, dan pikiran di antara dua keluarga besar kami. Kalau boleh dikata, persiapan sudah rampung 85 persen dan undangan juga telah diterima oleh para calon tamu. Tinggal menunggu eksekusi yang hanya menghitung hari saja. Kiranya Bapak/Ibu bisa memberikan pandangan yang bijaksana dan solusi terkait dengan butir edaran yang ada. Terima kasih banyak.”
“Salam. Tajudin.”
Kuhirup napas dalam-dalam lantas mengeluarkannya pelan-pelan. Kupencet tombol terakhir dan pesan pun terkirim.
Lega. Lega sekali rasanya telah bergerak satu langkah ke depan untuk mengurai ketidakpastian yang membebani pikiranku sekeluarga. Utang dan janjiku untuk menghubungi pihak BPBD lunas sudah.
Kini, giliran hatiku yang deg-degan menantikan jawabannya. Aku amat berharap mendapatkan respons yang berterima. Dan semoga pikiran serta keseluruhan diriku nanti bisa ikhlas menerima apapun hasilnya.
Setelah seluruh pasien hari itu selesai dirawat, aku mohon izin untuk pamit terlebih dahulu. Kukabari pak Joko, Ine, dan mbak Lisa kalau hari ini adalah hari terakhir dinasku sebelum cuti mulai besok hingga seminggu ke depan. Kepada ketiganya, aku memohon maaf atas segala kekhilafan serta meminta doa restu agar acaraku bisa berjalan dengan lancar dan aman.
Khusus kepada mbak Lisa, kukatakan kepadanya jika aku akan puasa menyimak grup staf medik, grup dokter gigi, serta grup-grup nakes lainnya yang kian hari tambah banter membagikan berita corona. Tak ada tujuan lain. Aku hanya ingin menjaga mental dan kewarasanku. Selanjutnya, aku minta tolong kepadanya supaya berkenan mengabari bilamana ada informasi yang penting untuk kuketahui. Dan secara resmi sejak saat itu, grup-grup horor itu sementara kuarsipkan. “Pusing banget, Mbak, kepalaku kalau lihat berita corona. Rasanya mungkin kayak diteror DC pinjol. Seolah-olah dioyak-oyak suruh nggagalin resepsi. Minta tolong banget ya Mbak kalau ada info penting wapri saja, Pliiis!”
Ia menganggukkan kepala. “Siap dik. Nanti aku kabari kalau memang ada kabar yang perlu di-share. Jangan lupa ya jaga kesehatan. Salam buat ibu sekeluarga.”