Waktu tengah malam yang semestinya membuatku ngantuk lalu terbujur lenyak1 tak berlaku kali ini. Mataku bahkan susah memejam karena saking bahagianya telah mendapatkan satu “yes” dari juri utama. Bagai diganjar sebuah golden buzzer yang menjadikanku bisa maju ke babak akhir. Otakku benar-benar kebanjiran endorfin2 dan seyogianya aku perlu lebih banyak serotonin.
Usai berulang kali gagal melewati percobaan merem-melek dan buka-tutup selimut, aku lekas bangkit dan memutuskan untuk menyalakan laptop. Sebenarnya aku tak tahu ingin melakukan apa dengan komputer pangku itu. Entah, aku hanya asal memencet tombol daya saja. Mungkin bakal lebih mudah menentukan apa yang akan aku lakukan nanti setelah menatap layar secara langsung. Yang jelas, aku hanya ingin mengisi waktu “senggang” saja. Daripada tidak melakukan apa-apa!
Pertama-tama, kubuka drive D yang berisi belasan data acak. Data-data dengan ikon berukuran sedang itu tertata urut berdasarkan alfabet. Lalu dari sekian folder yang sekilas menampilkan pratinjau itu, mataku cenderung tertuju pada sebuah folder bertitel “Road to IjabSah” yang lantas memaksaku untuk mengecek fail-fail di dalamnya satu per satu. Agak banyak, dokumen yang ada di dalamnya bercampur antara fail word, gambar jpg atau png, pdf, dan video. Ya, sejak awal, aku memang terbiasa mengumpulkan tangkapan layar, gambar, dokumen, atau arsip apa pun yang dibagikan oleh vendor pernikahan. Semuanya kukumpulkan dalam satu wadah agar suatu kali saat salah satunya kubutuhkan, maka tiap-tiap fail itu lebih mudah untuk diakses ulang.
Dan kemudahan itu terbukti kali ini! Tatkala mengecek kembali tarif paket MC dari pak Juki, seketika pikiranku teringat kalau saat resepsi nanti, aku perlu mencari hiburan pengganti setelah batal menghadirkan Andromeda Band. Dan aku juga teringat akan saran beberapa orang kepercayaan kalau para tamu undangan mungkin saja akan cukup terhibur dengan mendengarkan alunan musik dari pelantang. Ya, untuk itu, aku perlu menyiapkan daftar lagu.
Malam ini aku akan mencicil mencari lagu-lagu itu. Karena yang jelas, lagu yang akan diputar sepanjang resepsi nanti tak boleh asal-asalan. Aku tak rela semua tembangnya diambil secara acak dari diska lepas (flash disk/flash drive) milik akang operator sound system seperti kebanyakan hajatan di kampung. Kidung-kidung yang akan dimainkan harus punya standar tertentu dan tak boleh terlalu pasaran, kurasa. Lagu-lagunya mesti romantis, mewakili karakterku, menenangkan di kuping banyak orang, serta memiliki makna yang dalam. Dan yang paling penting lagu itu tetap harus bisa dinikmati oleh para tamu undangan.
Kira-kira apa saja ya lagunya? Pikiranku mulai bertanya-tanya. Lalu otak yang sebenarnya memuat referensi lagu sangat terbatas itu kini dipaksa bekerja keras. Seketika sorot mataku bergerak cepat dengan meloncat pada bebarisan aplikasi yang terbujur rapi pada taskbar. Ya, google tidak pernah mengecewakan! Lantas aku mengeklik tombol Chrome pada urutan ketiga dari sebelah kiri.
Dari sekian judul yang muncul setelah menggonta-ganti kata kunci, yang lantas memaksaku untuk membaca banyak artikel dalam beberapa jendela (tab) dalam waktu yang sama, jatuhlah pilihan pertamaku pada “Akad” milik Payung Teduh. Betul! Bagaimana mungkin aku bisa lupa!.
Couldn’t agree more! Awal kemunculannya dulu, gita penuh cinta itu selalu terngiang-ngiang di kepalaku. Mungkin harus kuakui juga kalau Akad telah menjadi salah satu lagu yang paling lama menjangkar dalam alam bawah sadar. Kalian pasti tahu bagaimana gejala khas stuck song syndrome! Selain itu, Akad juga tak pernah terlewatkan saat aku berkaraoke dulu. Ah, mengapa baru teringat? Dan irama dendangnya kini terputar kembali dalam kepalaku.
Kemudian apa lagi? Lagu “tak biasa” apa yang tak terlalu sering diputar pada resepsi pernikahan? Pikiranku kembali bersusah payah menyortir belasan lagu dari daftar rekomendasi. Lalu satu per satu dari lis itu coba aku tafahusi3 dengan mengingat-ingat kembali resepsi siapa saja yang kuhadiri selama belakangan terakhir dan kemudian memikirkan lagu apa saja yang dimainkan di dalamnya.
Daaan, ting! Ada “Teman Hidup”-nya Tulus. Seketika suara jazzy merdu miliknya menggema dalam batok kepalaku. Jujur, aku suka sekali dengan warna dan tipe suaranya. Apa aku perlu memutar semua lagu yang disenandungkan olehnya? Hatiku mendadak girang gemirang.
Tapi, tiba-tiba pikiran lainnya menginterupsi, bukankah lagu milik Tulus sudah terlalu sering diputar dalam pesta perkawinan?
Tidak. Lagi-lagi aku tak boleh asal mencomot lagu. Apalagi yang sudah terlampau populer. Lagu yang kupilih itu mestilah yang liriknya sesuai dengan nuansa sakral pernikahan, punya makna yang mendalam, serta tidak boleh terlalu mainstream. Lalu pikiranku secara sadar mengakui kalau pada beberapa lagu yang sering kunyanyikan, meski sudah hafal mati dengan liriknya, tetapi belum tentu kedalaman maknanya bisa kucerap dengan sempurna. Aku pun kini mulai menyertakan lirik sebagai salah satu indikator penting tatkala memburu kidung pilihan.
Dan it really works! Aku berhasil menambahkan empat judul lagu ke dalam basis data kumpulan kidung resepsi ngunduh mantu. Ya, akan kubuat folder baru dengan judul itu dan akan kumasukkan semua lagunya ke dalam folder itu.
Lalu, bagaimana dengan lirik yang sebenarnya punya makna syahdu, tetapi kurang familier di telingaku? Apakah patut kupertimbangkan? Apakah masuk hitungan? Perlukah kulakukan fase uji coba dengan memutar kidung kurang akrab di kuping itu berulang kali supaya tumbuh rasa gandrung di hati? Perlukah kulakukan hal itu? Sebandingkah dengan waktu yang akan terbuang? Kalau kata ahli, musik adalah bentuk seni yang mengandung paling banyak repetisi. Ya, mungkin saja hal itu bisa kuusahakan, tetapi tidak untuk malam ini! Otakku sama sekali belum siap menerima lagu-lagu baru.
Ah, perkara lagu ini apakah layak kupikirkan dalam-dalam? Mengapa tak biarkan saja akang pengeras memainkan daftar mp3 miliknya? Lalu para tamu tinggal duduk menikmati hidangan dengan latar tembang lawas milik Elvy Sukaesih atau kidung-kidung islami kepunyaan Sabyan. Mengapa aku harus bersusah-susah seperti ini?