Awipari, Rabu 18 Maret 2020
Untuk ke sekian kalinya, Namira mengintip dari balik gorden. Dilihatnya hadirat1 majelis yang datang jauh lebih banyak dibandingkan saat hari pertama kemarin. Ia agak sangsi untuk melebur kembali dalam kumpulan itu, tapi amat sadar untuk tak bisa menghindar. Bagaimanapun, majelis itu diselenggarakan khusus untuk dirinya, bukan orang lain.
Lalu dengan menyurutkan segenap rasa canggung, akhirnya Namira memberanikan diri melangkah ke tengah-tengah jemaah. Ia berjalan dengan bertumpu pada kedua lutut sementara wajahnya setengah menunduk tak banyak menatap ke depan. Langkahnya pelan agak terseret. Dimasukinya ruangan familier berukuran 4x4 meter itu, yang kali ini telah dipenuhi oleh 20-an perempuan paruh baya berpakaian muslim. Mereka telah duduk melingkar bersandar pada sisi-sisi tembok sedari tadi pagi.
Dan pagi menjelang siang hari ini, pembacaan quran yang dilangsungkan di rumah Namira telah mencapai juz terakhir. Setelah 2 juz pertama dilafazkan sendiri olehnya tempo hari, 28 lainnya dibacakan secara bergantian oleh 4 orang hafizah yang dalam lingkungan setempat dikenal sebagai orang yang alim sekaligus fasih dalam agama. Hafalan quran mereka berempat juga begitu kuat. Tatkala ayat-ayat suci diperdengarkan, yang lainnya menyimak dan mengoreksi bila ada bacaan yang luput.
Usai surah alqaariah dibaca, seorang berkerudung merah marun mengambil mikrofon dari atas meja. Ia menyalakannya, lantas mengawali bacaan attakaatsur diikuti dengan yang lain. Mereka semua lalu membaca secara berjamaah dengan tartil dan merdu. Tak ada yang hanya duduk diam saja. Semuanya bersuara dan bersemangat menyenandungkan bacaan kitab suci hingga tamat.
Menjelang selesai, orang-orang mulai mengangkat kedua tangan bertadah amin mengiringi doa yang dirapal oleh perempuan berkerudung merah marun. Namira ikut mengamini dengan khidmat. Kedua tangannya menengadah lebar mengharapkan berkah yang besar dari ritual ini. Permohonannya simpel, antara lain agar ia dan keluarganya selalu terjaga dari segi kesehatan maupun keselamatan, serta tercapai kebahagiaan di dunia maupun akhirat. Sementara sebagai sahibulhajat2, ia ingin pernikahannya bisa dilangsungkan dengan paripurna ditinjau dari segi apa saja.
Doa kemudian ditutup dengan usapan kedua tangan ke wajah secara berjamaah.
Lalu, dari ruang tengah, dua-tiga orang sinoman peladen keluar dengan masing-masing menenteng nampan berisi teh panas. Saking panasnya, gelas-gelas kaca yang membubungkan kepulan asap tipis itu hanya bisa dirantingkan dengan gerakan super cepat. Mereka membagikannya satu-satu kepada semua yang hadir. Tak terkecuali Namira. Ia ikut menyeruput dengan nikmat setelah mendapatkan bagiannya.
Selepas semua orang mendapatkan teh secara merata, tim yang kedua keluar dengan membawa nampan berisi rawon daging sapi yang aromanya sedap menggugah selera. Agak susah, orang-orang yang bertugas mengulurkan rawon itu harus berjalan pelan sambil melirik ke lantai. Pasalnya, lantai berkarpet itu telah dijejali dengan aneka stoples makanan kering dan piring-piring berisi camilan basah. Sementara pada bagian tengah kumpulan, botol-botol berisi air mineral sengaja diletakkan dengan tutup terbuka demi mengharap percikan berkah dari pembacaan ayat kitab suci.
Para jemaah tampak lahap menikmati rawon racikan resep andalan ibu Maya. Ada yang sampai keringatan saking pedas dan nikmatnya. Ada pula yang sampai tak sadar azan zuhur telah dikumandangkan lewat pengeras musala dekat rumah. “Apa sampeyan tidak dengar, Bu? Barusan saja lo mbah Jangi selesai azan,” ucap seorang perempuan setelah ditanya apakah telah masuk waktu zuhur atau belum.
Cuaca hari itu seperti biasanya, makin siang terasa makin gerah. Kipas angin di pojok ruangan seakan nirguna dalam menetralkan panasnya hawa udara. Sebagian perempuan dalam kumpulan itu mulai mengipas-ngipaskan sembarang barang yang bisa menghasilkan embusan angin.
Setelah barang 10 menit sejak rawon-rawon itu habis dimakan, satu per satu perempuan itu undur diri untuk pamit. Namira dan ibunya menyalami yang permisi dengan takzim diiringi ucapan terima kasih yang tak putus. Doa-doa tak henti-hentinya pula diamini oleh mereka berdua mengiringi kepulangan para tamu. Keduanya berdiri depan pintu hingga tamu paling akhir yang tak lain adalah perempuan berkerudung merah marun. Ia keluar paling belakang sebab mobil jemputannya baru saja datang. Namira dan ibunya kemudian mengecup punggung tangan perempuan itu saat menyalaminya. Mereka berdua sama sekali tak beranjak dari tempatnya berdiri hingga mobil yang mengangkut perempuan berkerudung merah marun itu bergerak melaju pelan.
Sesaat setelah mobil melaju, Namira dan ibunya baru bubar.
Namira kemudian membantu para sinoman membereskan ruang tamu dari semua centang perenang. Ia mengambil kain gombal dari dapur untuk mengelap karpet yang pada beberapa titik tampak basah karena ketumpahan teh. Selain itu, ia juga menutupkan botol-botol air mineral yang tadi dibiarkan terbuka agar segera bisa diserahkan kepada pemiliknya masing-masing. Setelah beres, ia baru pergi ke kamar mandi untuk mengambil wudu dan lekas sembahyang.
Usai salat duhur, ia berjalan keluar menuju halaman rumahnya untuk mengecek sendiri seberapa besar progres kesiapan arena akad dan resepsi. Diamatinya tiap jengkal dengan teliti serta ditinjaunya dari sudut ke sudut dengan cermat demi memastikan kalau semua yang terpasang sudah sesuai dengan apa yang dikehendakinya.