Wedding in Pandemic

Tinta Teje
Chapter #15

CORONA(tion) MOMENT

Jumat, 20 Maret 2020

Hari akad di Sleman

Sayup-sayup terdengar iring-iringan tarhim kala fajar mulai merekah. Namira baru saja selesai mandi dan telah bersiap-siap untuk sembahyang subuh. Langkahnya agak tergesa sebab sang perias dan pelukis henna telah mondar-mandir menyiapkan segala tetek bengek terkait tata rias di ruang tengah rumahnya.

Ia sampai lupa membaca kunut1. Sehabis rukuk langsung meluncur turun menempelkan dahinya pada permukaan sajadah. Lantas ditambalnya keluputan itu dengan sujud sahwi di akhir salat.

Segera setelah uluk salam, ia merapal doa sapu jagat. Lalu mukenanya cepat dilipat dan diwalak2 ke dalam rak. Disapanya orang-orang yang telah menungguinya itu lantas ia langsung menempatkan diri duduk di atas kursi rias sesuai arahan. Tak lama, para seniman itu mulai mendemonstrasikan kemampuan artistiknya.

Sang perias mulai mengolesi wajah Namira dengan aneka lapisan secara silih berganti. Dari petala3 basah ke kering, lalu dari kering ke basah lagi, disapunya semua bagian wajah hingga area lekukan terkecil sekalipun. Berkali-kali ia mesti memejam saat perias mengaplikasikan perona mata. Ia hanya diam menurut saja. Pintanya sejak awal kepada perias hanya satu. Ia tidak ingin pemerah wajah yang terlalu kontras dengan tone kulitnya. Lalu dengan profesional sang perias menyanggupinya lantas menyiapkan pewarna bibir yang senada pula.

Proses merias cukup singkat dibandingkan dengan yang biasanya dilakukan. Saat Namira melihat hasil akhir, ia cukup puas. Penampilannya juga makin paripurna usai mengenakan gaun akad. Kemudian saat fotografer mengabadikan penampilannya, secara luwes ia bergaya mengikuti ceklek ceklek jepretan kamera. Wajahnya tampak bercahaya tatkala ditimpa sinar lampu cincin berindikator diode. Dan saking senangnya telah menjelma cantik bak bidadari, ia tak menyadari jika terang matahari diam-diam sudah menyelusup masuk lewat blok kaca dinding rumahnya.

Sembari bekerja, tiba-tiba sang perias berkata, “Maaf ya, Mbak Na, kemarin kami sempat mau kansel. Kondisi satu tim, saya bersama dengan teman-teman, waktu itu stres banget dengan aturan yang muncul mendadak.”

“Ya-mbak-nggak-pa-pa. Yang-pen-ting-sa-ya-ja-di-di-rias,” jawab Namira terputus-putus sebab gerak bibir yang kaku dan terbatas. Lisannya berusaha mengucap sejelas mungkin saat meladeni pembicaraan. “Se-mu-a-nya-mak-lum-kok.”

“Alhamdulillah ya Allah. Masih bisa ngejob hari ini … jujur Mbak Na, ini ngejob saya yang terakhir lo. Entah bisa ngejob kapan lagi. Semua klien saya yang lain kansel orderan.”

Pelukis henna sekonyong-konyong tersulut untuk ikut nimbrung. “Kok sama sih, Mbak! Saya juga yang terakhir ini,” ujarnya dengan nada sedih. “Mana pemasukan lagi seret-seretnya!” tambahnya lagi tampak murung. Sama seperti sang perias, ia menyayangkan banyak klien yang tiba-tiba membatalkan pesanan jasanya.

I feel you, mbak. Puk puk,” kata perias singkat.

Namira ikut terbawa perasaan saat menyimak. Tapi ia hanya diam saja.

“Ya, Mbak. Emang kita nggak bisa ngapa-ngapain juga. Di luar kuasa kita sepenuhnya. Jadi tetep harus menerima bagaimanapun keadaannya. B-T-W, Mbak Namira beruntung banget lo, masih bisa akad dan resepsian. Daerah lain banyak yang sudah nggak dibolehin. Kemarin sempat nyimak berita di daerah mana ya … Temanggung kalau tidak salah, mempelai pengantinnya diminta pakai APD sama jas hujan pas akad nikah. Ditungguin sama dokter puskesmas juga. Ihh … kasian banget pokoknya. Mbak Namira harus banyak bersyukur lo aturan di sini lebih fleksibel!”

Temanggung? Mmm Namira hanya membatin tanpa sedikitpun bersuara.

Lima puluh meter ke arah barat dari tempat Namira dirias, tepatnya di kediaman bude Zulfa, semua anggota keluargaku juga telah terjaga sedari sebelum fajar. Sehabis subuh tadi, aku mandi paling awal dibandingkan dengan yang lain. Kemudian, saudara-saudaraku mengekor secara bergantian lantas mengenakan seragam keluarga. Aku mengenakan kemeja putih dibalut jas hitam, sementara mereka mengenakan pakaian muslim dominan warna putih.

Sekitar pukul 6 pagi saat mbak Aida tengah membusanai balitanya, seorang santri berjalan dari dapur ke arah ruang tamu sambil menenteng nampan berisi teh panas dan dua piring lapis legit pengganjal perut. Ia lantas menyilakan kami untuk makan. Spontan aku yang sedari tadi duduk di pojokan sambil komat kamit melatih bacaan akad, mendekati kakak-kakakku yang telah lebih dulu mencicip teh. Kurasakan nikmat yang luar biasa saat citarasa teh yang kuseruput menyentuh kuncup pengecap lidah lantas dengan hangatnya membasahi kerongkonganku. Saking enaknya, debaran jantung yang kencang sebab gugup dan gelisah mendadak sirna. Kuakui aku tak tidur nyenyak semalam karena terlalu khawatir dengan performaku saat ijab kabul nanti.

Sebuah nada seketika mendering melalui penyuara gawaiku. Tulisan “Rauf” tersurat jelas sebagaimana nama yang kusimpan dalam daftar kontak. Panggilan darinya itu kembali mengingatkanku kalau pihak KUA telah menjadwalkan akadku bersama dengan Namira pada pukul 7 pagi, jadwal paling pagi pada hari itu.

 Dan saat panggilannya kuterima, ia mengabariku kalau acara telah siap digelar di arena akad. Kyai Tashim selaku pengakad telah berada dalam perjalanan dan akan sampai dalam waktu sekitar 15 menit. Aku pun langsung mengabari keluargaku dan suasana mendadak riuh. Mereka meributkan waktu yang super mepet untuk bersiap-siap. Juga sedikit khawatir bilamana kyai Tashim yang memang sudah kondang itu sampai ke arena lebih dulu. Mereka pun mulai mempercepat aktivitasnya agar tidak telat.

Setelah semua siap, kami pun bergegas menuju halaman rumah lalu berbaris dengan formasi dua-dua. Aku bersama dengan mas Ahmad berada pada posisi paling depan, sementara yang lainnya menyesuaikan diri di belakang kami. Tak ada keramaian, hanya suasana khidmat yang kian menyunyi. Dan karena jarak yang relatif dekat, hanya butuh 5 menit saja untuk berjalan kaki hingga menjumpai sebuah gerbang depan tenda perayaan yang dihias dengan sehelai janur kuning melengkung pada salah satu sisinya.

Sesampai dalam arena, Rauf menyambutku dengan mengalungkan ronce bunga melati. Seorang fotografer lantas meminta kami berdua diam sejenak agar bisa dipotret. Aku dan Rauf hanya menurut saja. Lalu seorang laki-laki paruh baya yang belum pernah kukenal sebelumnya membimbingku berjalan ke arah panggung akad. Lagi-lagi, aku hanya diam dan menurut saja. Kuikuti semua arahannya secara alami dan spontan. Saat berjalan, kusalami tiap orang yang kulewati, baik yang ada di sebelah kanan maupun di sisi kiri.

Panggung akad terletak paling depan di arena pernikahan. Dibuat tidak terlalu tinggi terhadap hadirin yang duduk di atas kursi lipat di pelataran. Panggung ini kutaksir berdimensi 4x5 meter. Latar bagian belakangnya ditata dengan dekorasi bernuansa rustic yang sederhana tapi cukup elegan. Sebuah meja berbentuk persegi panjang membentang di tengah-tengah panggung. Di atasnya, tergeletak seperangkat alat salat sebagai mas kawin, serta 2 buah mikrofon yang terletak berhadap-hadapan.

Aku langsung duduk di tempat yang telah disediakan, diikuti oleh mas Ahmad dan mas Kholiq yang berjalan mengiringiku. Keduanya akan bertindak sebagai saksi.

Cukup mengagetkan dan memalukan bagi kami bertiga, ternyata kyai Tashim telah tiba terlebih dulu. Ia berada di seberang meja tepat di hadapanku. Di sampingnya, terduduk seorang penghulu dari KUA Kapanewon Gamping yang tersenyum-senyum cukup jenaka. Tampilannya cukup lucu karena posisi kopiah hitam yang memahkotai kepalanya seolah sengaja dibiarkan miring. Sekilas mengesankan citra seorang warga yang baru saja pulang dari ronda atau sedang begitu apes sehabis kalah main.

Segera setelah lima rukun nikah telah komplet dihadirkan, seorang MC lekas berdiri depan standing mikrofon untuk membuka acara adat seserahan. Kedua keluarga besar dan tamu undangan yang berangsur-angsur memenuhi arena kemudian tampak menyimak tiap sambutan dengan khusyuk. Dari awal sampai akhir, kuhitung ada 3 orang yang memberikan ceramah sekaligus menyampaikan nasihat.

Syukur, acara seserahan berlangsung dengan singkat dan padat. Kami tak harus berlama-lama untuk menantikan acara inti, yakni prosesi akad. Dan pada kesempatan pagi itu, disamping mendapatkan amanat untuk menjadi pengakad, kyai Tashim juga diminta untuk memberikan khotbah nikah. Ia mendapatkan legalitas itu setelah Rauf mendelegasikan perwalian Namira kepadanya.

Dan segera setelah disilakan, tibalah waktu yang dinanti-nantikan. Kyai Tashim mulai melafazkan beberapa bacaan berbahasa Arab dengan penuh semangat. Suaranya yang santun tapi penuh ketegasan benar-benar memancarkan aura yang berkarisma. Ia lantas membimbingku membaca istigfar dan syahadat yang masing-masing diulang sebanyak 3 kali.

Pada momen yang sakral itu, ia berhasil menyedot semua energiku. Seakan semua bagian diriku tertuju kepadanya. Perlahan kurasakan getaran penuh emosi merambati sekujur tubuhku. Makin lama, getarannya makin besar. Hingga tamat pengulangan bacaan kali ketiga, kyai Tashim mulai mencengkeram tangan kananku dengan erat, sementara tangan kirinya memegang mikrofon. Napasku mendadak sesak. Ia benar-benar menyetrumku sampai ubun-ubun sekarang.

Lalu diserunya dengan lantang, “Ankahtuka wa zawwajtuka makhtuubataka Namira binta Munir allatii wakkalanii waliyyuha bi mahri adawatis sholaati haallan4.”

Lihat selengkapnya