Wedding in Pandemic

Tinta Teje
Chapter #17

Reuni Virtual

Isan benar-benar menepati omongannya. Janjinya yang semula akan datang ke resepsi ngunduh mantu di Parakan, kini telah diralat menjadi berkunjung ke rumah mempelai wanita di Jogja. Yang lebih dekat dengan indekosnya di Jalan Pandega Marta. Dan bakda magrib ini, ia mengabariku sedang on the way menuju kediaman Namira.

 Ia nongol sendirian depan rumah usai memarkirkan sepeda motornya, tak jauh dari tenda perayaan yang kini mulai dipreteli para tukang. Bersamanya ada sebuah kado berukuran jumbo. Spontan kutaksir kalau bingkisan yang dibawa olehnya itu adalah hasil dari patungan teman satu kelompok, dan ia yang pada akhirnya “ditumbalkan” untuk menyerahkannya kepadaku. Aku pun jadi tambah yakin kalau teman-temanku itu praktis tidak ada yang akan datang ke Parakan besok lusa.

Sampai hadapanku, Isan menyerahkan kadonya lantas menjabat tanganku dengan begitu kuat. Diucapkannya alasan bla-bla-bla ia hanya datang sendirian tanpa satu pun seorang teman. Aku hanya mendengarkan saja argumennya yang panjang itu tanpa sekalipun memotong ucapannya. Tak lama kemudian, ia segera kusilakan masuk.

Dalam ruang tamu, kami berdua telah ditunggui oleh Namira. Ia tengah berdiri samping bebarisan sofa sectional minimalis yang ditata membentuk huruf L pada sudut ruangan. Isan melemparkan senyum kepadanya lantas mereka berdua beradu melakukan “Sampurasun” khas salam orang Sunda. Usai sang tamu duduk, baru lah Namira masuk kembali ke ruangan tengah untuk mengambilkan minuman.

Seperti galibnya perjumpaan dengan teman lama, aku dan Isan mulai mengawali percakapan dengan sedikit bumbu basa-basi sebelum masuk pada obrolan inti. Lantas kami berdua mulai bergantian menceritakan perjalanan hidup masing-masing selepas lulus dari kampus. Tentang apaa saja yang bisa disampaikan. Mulai dari pekerjaan, keluarga, hubungan asmara, hingga studi lanjut. Isan sangat antusias mendengarkan storiku kala kupaparkan awal pertemuanku dengan Namira, lantas hingga kini bisa berlanjut ke bangku pelaminan. Sorot matanya sangat bergairah seakan mampu memetik hikmah atas kisah asmaranya yang berjalan dengan tidak mudah. Pandangannya baru teralihkan saat Namira menaruh dua piring kudapan tepat di hadapannya.

Giliran bagian Isan, Namira bergabung denganku, ikut andil duduk mendengarkan. Kami berdua lalu menyimaknya, yang dengan cukup energik menceritakan pengalamannya tatkala kuliah doktoral di Jepang dengan beasiswa MEXT. Ya, ia tak memilih jenjang magister, tetapi langsung lompat mengambil jenjang S3. Sekarang, ia adalah seorang Ph.D untuk program studi Dental Science di Tohoku University. Topik risetnya tentang teknik pencitraan otak pada patogenesis1 nyeri di area mulut dan wajah.

Aku setengah tak percaya dengan cerita yang disampaikan olehnya itu sebab selama di Jepang, ia tak pernah sekali pun membagikan kehidupannya. Feed instagramnya tak ada unsur jepang-jepangnya sama sekali, Dan dalam grup kelompok pun, ia hanya diam tak berkabar.

Usai puas berbincang-bincang, Isan menyatakan kalau sebentar lagi, tepatnya pukul 7 malam, teman-teman satu kelompok akan menggelar panggilan video bersama denganku. Mereka telah setuju untuk mengucapkan selamat secara langsung kepadaku dan Namira. Sungguh sebuah kejutan buat kami berdua! Membuatku cukup penasaran.

Dan pada jam yang telah disepakati, Isan mulai mengawali panggilan. Ia mencoba menautkan kontak satu per satu secara berurutan, lantas masing-masing dari mereka yang terpanggil mulai menerima permintaannya.

Selang sekitar 15 detik, telah terhubung empat orang sekaligus, termasuk Isan. Ketiga orang lainnya kemudian menyalakan kamera depannya masing-masing hingga aku dan Isan bisa menyaksikan wajah mereka dengan gamblang. Mereka langsung bergantian mengucapkan selamat atas pernikahanku.

Teman-temanku kurasa masih sama saja seperti dulu. Mereka tampak seperti apa adanya tanpa tedeng aling-aling. Tak ada juga yang tampak melakukan pencitraan berlebihan untuk tampil satu sama lain. Di antara kami, ada yang depan layar ditemani balita dan suami. Ada yang tak sempat dandan hingga mesti malu-malu kucing berulang kali menutupi wajahnya dengan telapak tangan. Ada juga yang sangat percaya diri dengan gaya khas emak-emak yang simpel dalam balutan daster. Dalam pertemuan itu, kami banyak tertawa terpingkal-pingkal sebab tak sedikit yang menyampaikan kembali ingatan bersama akan momen lucu di masa lalu.

Sayangnya, temu kangen daring yang penuh dengan suasana keakraban itu tak bisa berlangsung lama. Mereka yang melakukan panggilan video denganku itu terbatas akan durasi karena mesti bergantian dengan yang lain. Sejauh ini Whatsapp baru bisa menyediakan fitur panggilan bersama maksimal empat orang. Meskipun demikian, aku sangat terhibur dengan kesempatan temu kangen ini. Pertemuan ini benar-benar seperti reuni bagi kami. Kami bisa bertatap-tatapan secara langsung, meski hanya dari balik layar gawai. Aku juga sangat senang karena pada akhirnya bisa mengumumkan keberadaan nyonya Teje kepada mereka.

Usai puas reunian, panggilan video pun akhirnya dimatikan. Lantas aku, Namira, dan Isan diam sejenak lantaran sudah kehabisan bahan obrolan.

Lihat selengkapnya