Wedding in Pandemic

S Tajudin
Chapter #18

Konferensi Tanpa Meja

Mula-mula, ketua sinoman datang sekitar pukul 7 lebih 45 menit petang. Lalu tiga orang lainnya menyusul berangsur-angsur. Mereka berempat menggunakan ruang tamu sebagai majelis rapat sebab ruang tengah kondisinya berselerak oleh tingkah para budak. Lama-lama, yang lainnya muncul satu per satu. Pembahasan pun segera dimulai setelah kuorum dirasa cukup memadai.

“Sepertinya usul mas Farhan sudah betul,” ucap om Zaki mengiyakan. “Lebih baik keran dipasang di sisi kiri pelataran gedung karena permukaan tanahnya relatif lebih rendah. Lebih dekat pula dengan saluran pembuangan. Seandainya ada banjir atau genangan air, lebih mudah untuk ditangani … Kalau di sisi kanan menurut saya kurang tepat. Rasa-rasanya terlalu mepet dengan parkiran motor.”

Sang ketua tampak manggut-manggut sebab pandangannya diterima.

Lalu kata adiknya lagi, “Oh ya, hari ini saya sudah kontak pengelola gedung secara langsung. Untuk area sekitar gedung, katanya boleh-boleh saja seandainya mau direka menyesuaikan kebutuhan penyewa. Yang penting perubahannya jangan dibuat permanen apalagi sampai merusak bentukan yang sudah ada. Jadi, saya rasa tidak perlu khawatir kalau mau pasang wastafel untuk cuci tangan.”

“Oke, Zak. Masalah perizinan clear ya,” kata paklik Farhan cukup lega.

Yang dipanggil menjawab dengan mengacungkan jempol.

“Kemudian, untuk pasokan airnya, tadi juga sudah dipastikan cukup ya Bapak-Ibu oleh koordinator humas. Jadi tidak perlu pasokan tambahan. Andaipun kurang, kita bisa kompensasi dengan adanya hand sanitizer. Yang sebetulnya lebih nyaman dan lebih praktis untuk digunakan.”

Orang-orang menunjukkan raut bercahaya karena merasa telah memecahkan bermacam-macam kendala.

“Terus, barang yang perlu dipersiapkan apa lagi ya, Kholiq, semalam kata pak lurah?”

“Baik, izin menyampaikan lagi pesan pak lurah semalam,” sahut yang disebut namanya dengan cepat. “Intinya, beliau minta pengetatan prokes selama acara. Area gedung, baik luar maupun dalam, diminta untuk disterilkan dengan cairan disinfektan sebelum dan sesudah acara dilangsungkan. Terus bagi pengunjung, wajib disediakan tempat untuk cuci tangan dengan air mengalir dan sabun. Minimal hand sanitizer kalau wastafel tidak memungkinkan. Tetapi air mengalir tetap lebih bagus. Tidak boleh ada jabat tangan apalagi cipika cipiki dengan tamu undangan. Untuk itu, pak lurah menyampaikan perlunya banner-banner atau penanda khusus pengingat bagi para tamu di beberapa titik. Harus ada juga alat deteksi suhu bagi tamu. Tamu yang terdeteksi demam atau suhu di atas normal tidak diperkenankan untuk masuk. Terus satu lagi, harus ada petugas khusus untuk mengatur jalur keluar-masuk para tamu. Tidak boleh membuat kerumunan di dalam arena.”

Paklik Farhan menghela napas lalu mengeluarkannya pelan-pelan. Ia kembali terheran-heran dengan aturan resepsi yang dipersyaratkan oleh pak lurah. Billahi1, aturan-aturan itu baru sekali ia jumpai seumur hidupnya. “Baik, kita hitung satu-satu saja ya kebutuhannya. Jangan lupa, sekretaris untuk mencatat ya … satu, keran pancuran. Dua, slang. Tigaaa, pralon. Empat, sabun cuci tangan. Terus apalagi ya tadi?”

Hand sanitizer sama larutan disinfektan!”

“Siiip, terus apa lagi?”

“Termometer?”

“Ya, tulis nggih mas sekretaris! Terus apalagi?”

Banner atau spanduk!”

“.…”

“Oke, cukup dulu ya bapak ibu,” ujar ketua sinoman menyudahi. “Pak Waluyo, apakah barang-barang yang disampaikan tadi sudah disiapkan?”

“Belum pak Farhan,” ucap pak RT Waluyo sang koordinator seksi perlengkapan.

“Eh, ada yang sudah paklik,” tukas mas Kholiq buru-buru mengoreksi. “Hand sanitizer, banner-banner pengingat, dan termometer sudah dibeli langsung sama Teje sendiri,”

“Yang lainnya berarti belum ya?”

“Belum sepertinya paklik.”

“Alat semprotnya sudah ada belum paklik?”

“Hah, untuk apa alat semprot?”

“Untuk menyemprotkan cairan disinfektan, paklik. Kan tadi disyaratkan!”

Lihat selengkapnya