Wedding in Pandemic

S Tajudin
Chapter #19

Tak Seindah Malam Pertama

Firasat seorang ibu tak pernah keliru. Begitu juga intuisi yang dirasakan malam ini. Ibuku amat waskita menerawang kegundahanku, yang menuju dini hari makin terasa menjadi-jadi. Pikiranku benar-benar tak bisa tenang barang sekejap saja. Meski raga ini telah tergelimpang diam selama 2 jam atas kasur, tapi isi kepalanya sangat aktif meloncat-loncat bercampur baur dengan tidak akur.

Kurasakan lelah pada sekujur badan, terutama kedua kaki dan area persendian yang seharian telah berjalan kesana kemari menopang tubuh yang kian berisi. Ingin kuistirahatkan saja tubuh ini agar besok aku bisa bangun dengan kondisi lebih segar, tapi kedua mataku tak jua mau untuk memejam. Tiap kali memicing, yang tergambar hanyalah muka Isan atau wajah pak lurah yang muncul bergantian membawa kabar tak mengenakkan. Dan kala mata terbuka, pandanganku terus terarah ke langit-langit kamar dengan pikiran yang terbang entah ke mana.

“Mas, ayo istirahat dulu,” ajak Namira dengan santun. Ditaruhnya gawai atas meja rias tepat di samping arloji digital yang kini menunjukkan pukul 23 lebih 37 menit. Sejurus kemudian, kacamatanya ikut dilepas dan ia mulai bersiap-siap memujurkan diri pada ranjang kasur.

“Kamu duluan saja, dik,” balasku halus. “Mas belum ngantuk. Belum bisa merem.” Kukatakan saja kalimat apa pun yang terlintas dalam kepala.

Ia pun tak jadi mapan1. Diambilnya lagi gawai dan kacamata yang tadi sudah diletakkan, lantas duduk menyandingiku yang masih tergolek tak berdaya seakan tak bernyawa.

Ia bertahan dalam posisi seperti itu hingga setengah jam lamanya. Tetap betah berada di sisiku meski aku tak mengajaknya ngobrol sama sekali. Mungkin ia paham kalau pikiranku sedang tak keruan. Mungkin ia tahu, kalau di pundakku terbujur beban yang berat meski tampak seakan semu. Dan untuk itu, ia tak mau menggangguku. Ia hanya diam mengamatiku yang tak henti-hentinya membuang pandangan ke plafon kamar dengan tatapan kosong. Benar-benar tak ada penglihatan lain selain hanya pagu ruangan.

Tapi lama-lama, ia khawatir juga menyaksikanku terus-terusan termenung. Adakalanya (barangkali) ia takut aku kesurupan setan.

“Mau tak buatkan kopi, Mas?” tawarnya kepadaku.

“Nggak usah. Makasih,” jawabku spontan. Rasa-rasanya kali ini aku tak butuh hal lain selain kesendirian dan keheningan.

“Teh panas?” tanyanya lagi hingga membuatku sedikit gusar.

Aku menggeleng tanpa bersuara. Mengapa Namira tak lekas tidur saja? Tak bisakah cukup diam dan membiarkanku sendiri untuk saat ini?

“Teh buatanku enak lo, Mas. Aku yang paling bisa diandalkan di keluarga B-T-W ….”

“Nggak perlu. Kamu tidur saja duluan kalau sudah ngantuk!” balasku dengan nada agak tinggi.

Namira sedikit terperanjat. Ia tak menduga niat baiknya justru dibalas dengan ucapan sedikit bernada. Dan hal itu sempat membuatnya sedikit ciut. Ia pun lantas menyerah untuk mencoba berempati. Lalu dibujurkannya kembali tubuh yang pernah gempal itu setelah mencium punggung tanganku dengan penuh kelembutan. Selang tak lama, ia berbaring memunggungiku dengan selimut yang dihampar menutupi setengah badan.

Aku yang seketika tersadar telah membentaknya hanya terdiam merutuki diri sendiri. Hatiku merasa bersalah penuh penyesalan. Apa yang barusan kulakukan sungguh merupakan awal yang buruk dalam memulai kehidupan baru berumah tangga. Tapi aku tak bisa berkata apa-apa. Mulutku kadung terkunci rapat dan nasi benar-benar telah menjadi bubur. Tamanni2, sungguh tak ada harapan untuk memutar roda waktu dan mengulang kejadian yang telah lalu. Andaikata diberi kesempatan kedua, tentu aku akan lebih bijak dalam memilih diksi dan bertutur kata.

Setengah jam berlalu dan malam kian menyunyi. Kepalaku masih panas dan mataku sama sekali belum mau memejam. Pikiran untuk tetap lanjut atau membatalkan acara ngunduh mantu berseliweran di kepalaku bagai benang kusut yang susah sekali untuk diurai. Belum lagi hawa Jogja yang terasa amat panas untuk diriku yang akrab dengan cuaca lereng gunung. Badanku makin tak nyaman merasai gerah yang tidak kaprah.

Lihat selengkapnya