Wedding in Pandemic

Tinta Teje
Chapter #20

Jalan Tak Ada Ujung

Sabtu, 21 Maret 2020

Orang-orang sudah berkumpul sedari pukul 8 pagi. Mereka datang berbondong-bondong seolah sedang mengantre peragihan BLT. Sebagian bahkan melewatkan sarapan karena saking tunduknya pada instruksi paklik Farhan. Ia meminta seluruh sinoman, baik laki-laki maupun perempuan, untuk sesegera mungkin merapat ke kediaman ibu Mun, sang sahibulhajat.

Dan 1 jam telah lewat sejak paparan permasalahan disampaikan oleh mas Kholiq, tetapi orang-orang belum juga menjumpai titik terang. Wedang teh panas dalam cerek ukuran medium sudah sekali diisi ulang; jajanan dalam piring juga sudah hampir ludes dikudap; lalu sekarang, nasi yang baru saja matang telah disajikan khusus bagi sinoman yang belum sarapan. Uapnya mengepul membubungi sebuah termos nasi besar serta dua buah ceting berbahan logam. Beberapa piring berisi lauk berupa telur bacem hitam, sambal daging kreni, dan sayur sop lantas keluar dari bibir dapur mengiringi nasi. Tak lama kemudian, adat masyarakat kampung mengemuka untuk saling sila-menyila.

“Gimana ini paklik?!” tanya mas Kholiq lagi dengan suara cemas. “Apakah pelaksanaan ngunduh mantu besok sepadan dengan konsekuensi yang harus kita tanggung?”

Yang ditanya mengembuskan asap rokoknya pelan-pelan lewat mulut, sementara jari-jemari tangan kirinya mengunci pipa cangklong dengan erat. “Aku juga bingung. Kok jadi pelik begini ya urusannya,” ucap paklik Farhan lalu melepas peci yang saban hari dipakainya. Ia menggaruk-garuk kulit kepalanya yang sebagian besar telah beruban. Lalu lanjutnya lagi, “Padahal kemarin sudah beres lo. Tinggal eksekusi hari H saja! Kok sekarang tambah susah ya persyaratannya. Coronaaa coronaa .… nggak rampung-rampung urusannya.”

“Betul, paklik. Kami pun sama bingungnya dengan paklik saat mendengar aturan dari pak lurah semalam.”

“Kalaaau saja dengan persyaratan yang sebelumnya sudah cukup,” seru paklik Farhan kembali berandai-andai, “Sekarang juga kita langsung berangkat ke gedung untuk persiapan. Tapi … ah.” Lagi-lagi ia mengisap rokoknya.

Suasana hening untuk sesaat. Tak terdengar ada celoteh apa pun yang keluar dari mulut. Yang ada hanya denting sendok beradu dengan piring.

Lalu selang 10 menit-an, “Eee … mohon maaf pak Farhan menyela, terus ini gimana ya jadinya acara ngunduh mantunya, tetap lanjut atau bagaimana?” tanya pak RT Waluyo.

Paklik Farhan kembali mengorek-orek kulit kepalanya. “Gimana ya kalau menurut pak Lurah sendiri … Berat kok ya tanggung jawabnya! Tidak main-main. Saya ragu juga mau memutuskan.”

“Betul Mas,” kata om Zaki menyahut tanpa diminta. “Tanggung jawabnya tidak main-main. Tak ada yang bisa menjamin seluruh rangkaian acara berjalan sesuai dengan apa yang kita inginkan. Amit-amit, kalau sampai ketiban musibah, aku benar-benar nggak tega sama mbakyu Mun.”

Orang-orang yang sekarang telah selesai sarapan tampak hanya manggut-manggut saja, tak berani ikut berkomentar. Benar-benar tak ada yang berani bersuara saat disilakan. Sorot mata mereka, yang tertangkap lewat kacamata paklik Farhan, menyiratkan keprihatinan sekaligus kebimbangan yang mendalam. Seolah hendak memekik keras kalau sebenarnya mereka amat keberatan bilamana tetap melanjutkan acara, tapi mereka juga tak sampai hati menyarankan pada empunya hajat untuk menggagalkan acara. Dan ketika tak menemukan diksi yang tepat untuk menyampaikan opini, maka hanya diam, ekspresi yang paling benar dijadikan sebagai opsi.

Tiba-tiba pak RT Waluyo mengacungkan tangan kembali. “Mohon maaf saya menyela lagi ya, pak Farhan dan Bapak-Ibu sekalian. Saya hanya mengingatkan jika waktu terus berjalan, sementara sekarang kita sudah terhenti cukup lama. Kita seperti menemui jalan buntu. Atau … jalan berputar-putar saja dalam lingkaran yang tidak memiliki ujung. Dari arah mana saja kita mulai berjalan, di situ juga kita akan kembali. Berputar lagi, lewat jalan itu lagi. Terus. Tak ada ujungnya. Mohon maaf sekali lagi, tanpa bermaksud memperburuk keadaan, saya hanya mau memastikan, supaya pekerjaan yang jadi tanggung jawab saya hari ini tidak sampai kesorean. Apakah pekerjaan yang belum selesai dikerjakan bisa dilanjutkan? Di area gedung masih ada pekerjaan membuat wastafel tempat cuci tangan, dan masih banyak pekerjaan lainnya. Apakah sudah bisa dicicil supaya tanggung jawab saya sedikit-sedikit bisa berkurang?”.

Tanpa pikir panjang, paklik Farhan menjawab cepat, “Belum, pak Waluyo. Tahan sebentar ya. Mohon rekan-rekan sinoman bisa bersabar sedikit lagi. Mudah-mudahan segera datang ilham penyelesaian.” Menurutnya, lebih baik menahan semua langkah sebelum benar-benar diputuskan sikap apa yang akan dipilih. Apakah acara tetap akan lanjut atau ada opsi yang lain.

“Sekali lagi, mohon untuk ditunggu dulu ya, Bapak dan Ibu sekalian. Barangkali ada perubahan keputusan,” tambahnya lagi. “Terima kasih, rekan-rekan Bapak-Ibu sekalian atas pengertiannya.”

“Baik pak Farhan,” respons pak Waluyo singkat tanpa ada argumen atau sanggahan lagi. “Oh ya, ini tukang dekornya perlu dikasih tahu tidak ya untuk stop dulu, barangkali, atau biarkan saja sampai kerjaannya selesai. Paling dekornya nanti siang sudah selesai.”

“Distop dulu mungkin pak Waluyo. Minta tolong untuk disampaikan ke mas dekoratornya ya!” ujar paklik Farhan sambil menelan ludah. Ia sampai lupa kalau ada 4 orang yang masih perlu diurus di gedung Mandala.

“Siap!” kata pak Waluyo tangkas.

Paklik Farhan kemudian mengambil lagi sebatang rokok yang baru lantas memasangnya pada pipa cangklong. Sembari menyulut rokok itu, ia memanggil dengan setengah berteriak, “Kholiq!”

“Ya, paklik.” Yang dipanggil langsung menghadap.

“Kalau kata mbakyu Mun, bagaimana? Tak lihat orang-orang sudah tidak bersemangat untuk lanjut.”

“Ibu sudah pasrah sepenuhnya paklik, sama tim sinoman. Kalaupun acara memang harus batal, ibu sudah legawa1.”

Lihat selengkapnya