Wedding in Pandemic

Tinta Teje
Chapter #21

Life Must Go On

Selain harta, rezeki bisa datang dalam bentuk keluarga yang hangat dan bersahaja. Dan aku beruntung bisa mendapatkan anugerah itu dengan menikahi Namira dan keluarganya yang memiliki hati lapang seluas samudra. Mereka semua bisa menerima keputusanku dalam menggagalkan acara dengan tabah. Bahkan mendukung apa pun keputusan yang kupilih.

“Sudah. Tidak apa-apa mas Teje. Semuanya sudah maklum dengan kondisi saat ini. Kalaupun di Parakan nanti, acara penyerahannya hanya berlangsung sederhana juga tidak masalah. Tidak usah dipikir dalam-dalam,” kata ibu Maya menenangkanku.

Jujur, hatiku merasa plong dan lega selega-leganya usai memberi kepastian akan batalnya acara ngunduh mantu kepada orang-orang di rumah. Bagai melepas beban superberat yang saban hari kupikul di pundak. Kini, tercerabut sudah semua tekanan dan desakan yang tambah hari makin membuatku murung dan stres.

Tapi, masalahku tentu tak selesai begitu saja. Aku harus segera pulang ke Parakan untuk mengesahkan apa yang baru saja kuputuskan lewat telepon. Keabsahan batalnya acaraku juga akan lebih berterima bagi keluarga di rumah dengan kehadiranku lebih awal di Parakan. Bukan hanya berdasar atas ucapan jarak jauh semata. Untuk itu, aku mengajukan permintaan kepada keluarga besar Namira untuk sesegera mungkin melangsungkan prosesi penyerahan.

Dan setelah berdiskusi barang beberapa lama, ibu Maya akhirnya menyetujui usulku untuk langsung berangkat sehabis zuhur nanti. Hari ini juga!.

Sontak, pagi itu kami semua langsung bersiap-siap. Namira, yang masih shock dengan keputusan pemberangkatan lebih dini ke Parakan, langsung menyusulku berkemas merapikan baju yang sebagiannya masih berserak di kamar. Kami berdua lalu menyiapkan barang bawaan masing-masing. Aku mengerjakan bagianku dengan penuh antusias, sementara Namira, saat sekali-dua kali kutengok, tampak setengah hati melipat baju lantas memasukkannya ke dalam koper. Jelas sekali ia begitu gugup dan sama sekali belum siap diboyong ke keluarga mertuanya. Sekelebat rasa iba sempat menggelayuti pikiranku tatkala melihatnya, tapi lantas kuyakinkan kepada diri sendiri bahwa apa yang harus kami jalani saat ini adalah yang terbaik bagi kami berdua.

Ibu Maya tak kalah sibuknya. Ia diantar Rauf berkeliling mengunjungi kediaman sanak saudara, mengabari kalau acara ngunduh mantu putrinya besok telah resmi dibatalkan. Tak lupa ia juga menyampaikan kalau acara resepsi besok akan diganti dengan prosesi penyerahan sederhana yang hanya akan melibatkan keluarga inti saja.

Jelang zuhur, satu per satu saudara kandung ibu Maya datang ke rumah. Mereka, bersama dengan pasangannya masing-masing, akan ikut serta mengantarkan Namira ke keluarga mertuanya di Parakan. Dan usai semua pengiring telah berkumpul, mesin mobil pun langsung dipanaskan. Lewat 15 menit, kami sekeluarga langsung naik menempati kursinya sendiri-sendiri. Seluruh pengiring hanya ada 13 orang dan untuk itu, kami cuma butuh 2 mobil. Aku duduk di samping Namira menumpangi baris kedua mobil warna hitam beremblem kepala kijang. Tak lama, dua mobil itu melaju secara konstan beriring-iringan.

Di tengah-tengah perjalanan, mbak Aida menghubungiku. Ia memintaku untuk lekas mengabari semua orang yang kemarin sempat kuundang ke acara ngunduh mantu besok. Lalu dikirimnya sebuah teks pembatalan yang lagi-lagi membuat dadaku bergemuruh saat membacanya. 

Assalamualaikum,

Semoga kita semua selalu dalam keadaan sehat walafiyat di bawah lindungan dan rida Allah SWT.

Bapak, Ibu, dan saudara sekalian yang saya hormati,

Lihat selengkapnya