Wedding in Pandemic

Tinta Teje
Chapter #22

Epilog

Kalau kalian pernah menonton serial kartun Doraemon, dan sudah pasti kalian pernah, maka morfologi bukit sebelah kampungku bisa dikatakan sangat mirip dengan bukit belakang sekolah Nobita. Persis tapi dalam ukuran lebih mini. Ke atas bukit itulah aku bersama dengan Namira bergegas mengunjungi pemakaman tanah Jawa tempat pusara ayah berada.

Setiba di pekuburan tujuan, kami jumpai suasana begitu sepi. Hanya ada kami berdua saja. Tak ada orang lain. Maklum, hari Sabtu bagi masyarakat sekitar domisiliku memang bukan waktu yang lumrah untuk berziarah, apalagi mendekati senja. Kami berdua lantas melangkah secara perlahan menyusuri jalan setapak yang kanan-kirinya tergolek makam-makam. Kaveling masa depan, batinku menggumam. Pusara-pusara itu tersusun tidak begitu rapi. Seperti akan ditata secara melintang membentuk saf, tapi nyatanya ada juga yang membujur. Di beberapa titik, kepala bertemu tegak lurus dengan perut atau pusar. Bahkan ada juga yang kepala bertemu dengan kaki, atau sekitar titik itu kurasa. Makam-makam yang kusaksikan itu, ada yang bersih terurus, tapi ada juga yang terbengkalai hingga ditumbuhi belukar tinggi. Kuharap aku bisa menjaga peristirahatan ayah dengan baik, sebagaimana ahli warisku nanti bisa mengurus kuburanku dengan apik pula.

Salam terucap saat kedua kaki berdiri tegak menjangkar sejajar depan makam ayah. Karena tak menemukan sesuatu apa pun untuk menumpukan pantat, kami berdua lantas jongkok tanpa berkode-kodean lalu mulai merapal zikir-zikiran. Kupandangi Namira sejenak, matanya tampak terpejam sementara jari-jemari tangan kanannya menggaruk-garuk punggung tangan kirinya sehabis gatal diisap nyamuk. Aku tak menduga, berzikir di pemakaman bisa menjadi begitu syahdu seperti sore itu. Dalam keheningan, seperti tak ada sekat yang menghalangi suaraku dengan Dia yang Maha Mendengar. Aku bisa khusyuk menadaburi1 makna dari bacaan-bacaan arab yang kulafazkan.

Sayangnya, pepohonan bambu yang amat rimbun dan tumbuh menjulang itu seakan memesat proses terbenamnya matahari hingga langit lebih cepat menggelap. Kami pun otomatis mempercepat prosesi nyekar. Aku yang kini tengah memimpin doa secara instingtif langsung meningkatkan tempo bacaan, sementara Namira ikut terbawa dengan menyeringkan aminnya dengan lebih rapat.

Dalam sebarang momentum yang acak dan terjadi tanpa aba-aba, fokusku tiba-tiba hilang begitu saja. Blank. Pikiranku mendadak kosong sehingga lupa dengan bacaan yang harusnya kuselesaikan. Sampai mana bacaanku tadi, pikiranku menerka-nerka. Selama sekian detik mencoba, aku tetap kesulitan mengakses memori. Aku benar-benar tidak ingat sampai mana bacaanku yang terlupakan tadi. Haruskan kuulang dari awal? Kulirik Namira yang menatapku dengan tegas. Lalu tanpa menimbang-nimbang lebih lama lagi, segera kuakhiri saja doa sore itu dengan bacaan sapu jagat.

Lihat selengkapnya