Sebuah bus varian high decker dengan tulisan agak nyentrik pada bagian belakang bodinya diarahkan untuk menepi samping kiri usai melewati lampu lalu lintas perempatan. Bus itu tak sendirian, melainkan ditemani tiga buah mobil penumpang kapasitas tiga baris. Pelan-pelan keempatnya bergerak mengikuti arahan pria berompi hijau stabilo yang terus menggerak-gerakkan lengan kanan atasnya dengan manuver fleksi1 terhadap siku. Sementara yang kanan tak bisa diam, tangan kiri pria itu tampak tenang memegangi peluit yang berulang kali ditiup prit prit. Kini, kendaraan-kendaraan itu melewati sebuah gerbang besar yang samping kanannya berdiri elegan sebuah toko cendera mata produk UMKM, lantas memasuki tanah lapang dengan ukuran yang cukup luas untuk menampung belasan bus besar.
Setelah kesemuanya selesai diparkir, seluruh penumpangnya keluar dan diminta langsung membentuk barisan. Mereka dipandu oleh seorang berkostum mirip astronaut, yang entah laki-laki atau perempuan, ke area cukup teduh yang ada di samping sebuah gedung pertemuan megah. Gedung itu sudah pasti milik pemerintah kabupaten. Terlihat dari lambang yang bercokol depan mukanya yang khas berupa perisai segi lima dengan tulisan kapital “SWADAYA BHUMI PHALA” pada bagian bawahnya.
Semua penumpang itu, baik yang sudah tua bangka, paruh baya, muda penuh tenaga, hingga bayi yang masih menetek ibunya, terus berjalan sambil membaca-baca nama gedung itu dengan saksama sebab tak ada hal lain yang memang lebih menarik untuk dipandang.
“Loh, ini to yang namanya Gedung Pemuda! Baru tahu aku … berarti job fair kemarin ya di sini! Sial, aku ketinggalan,” seru seorang pemuda berbatik motif tembakau kombinasi kopi merutuki diri sendiri.
“Lah, samang gek wae ngerti?2”
“Mberuh!3” jawab yang ditanya dengan kesal sambil terus berjalan.
Satu per satu kemudian maju menuliskan identitasnya pada sebuah buku yang sudah disediakan oleh rekan si astronaut. Setelah menulis, mereka masih dituntun untuk tetap berbaris menuju sebuah bilik berbentuk kotak dengan ukuran sekira 1,5 x 1,5 meter dan tinggi lebih dari 2 meter. Bilik itu dilengkapi dengan kelambu plastik cukup tebal yang mengitari sisi-sisinya. Pada sisi kanan dan kirinya, terpasang tirai tembus pandang yang solid sekaligus pampat, sementara pada dimensi depan dan belakangnya terlihat berongga dengan potongan berjurai-jurai pada ujung bawah yang tidak sampai menyentuh tanah.
Saat orang pertama dipanggil untuk masuk ke dalam bilik, tiga buah semprotan kabut halus menyembur secara tiba-tiba dari arah yang tak diduga-duga. Sontak ia kaget bukan kepalang. Sekujur tubuh dan kemeja batik kesayangannya seketika basah kuyup dalam hitungan detik. Tapi petugas seperti tak peduli dengan kondisi ketidaknyamanannya. Petugas berbaju astronaut itu terus bekerja tanpa sekalipun berbasa-basi sekadar menyenangkan hati orang pertama.
Usai keluar dari bilik, petugas yang sama masih pula meminta orang pertama untuk merentangkan kedua tangan supaya ia, dengan semprotan yang bisa dihasilkan dari sprayer yang digendongnya, bisa menjangkau bagian bawah ketiak dan lipatan tubuh lainnya. Orang pertama kemudian lanjut berjalan setelah diminta untuk terus maju oleh petugas.
Deretan orang dibelakangnya sampai giris melihat orang pertama berjalan dengan kaku menyerupai robot. Tak perlu ditanya untuk tahu kalau ia sama sekali tidak berselera dengan pakaian yang dikenakannya. Dan tampak sekilas dari pancaran matanya yang terterawang lesu, paling tidak setengah jam ke depan, ia harus tetap dalam kondisi basah kuyup seperti itu sebelum bisa leyeh-leyeh manja di atas sofa dalam griya. Meski giris, ada juga dari deretan orang-orang itu yang tertawa lirih menyaksikan orang pertama terdiam membeku. Ada yang menyeru untuk memberi semangat, ada yang berolok-olok karena telah menemukan bahan candaan yang menohok, dan ada juga yang sengaja berteriak keras sebab antusias dan penasaran mencicip sensasi yang dirasakan oleh orang pertama.
Begitu seterusnya yang ada di belakang maju menggantikan orang di depannya. Semua disemprot tanpa terkecuali. Bahkan batita yang belum pernah dimandikan kecuali dengan air hangat pun ikut kena bura4. Ibunya sampai meringis tak rela darah dagingnya disembur dengan cairan berbau detergen. Dan jelang matahari berangsur-angsur menggelingsir dari titik zenit, subjek sasaran semprot yang masih kering tinggal beberapa gelintir saja.
Akibat basut5 itu, satu-dua perempuan (mungkin lebih) sampai melepas kerudungnya karena sudah tak nyaman untuk dipakai. Beberapa yang lainnya tampak meretek sambil gemetar merasai tubuhnya yang sudah telanjur basah dan masih pula dibalut dengan baju bersimbah ayar6. Meski demikian, tetap saja tidak ada yang terlihat murung atau mengumpat karena marah. Banyak diantara mereka yang justru malah cengengesan memvideokan tindakan-tindakan yang dianggapnya lucu. Pengalaman unik ini benar-benar baru sekali terjadi dalam hidup mereka.
Setelah semua orang selesai disemprot, mereka diperbolehkan untuk kembali ke dalam kendaraan masing-masing. Tiap orang tak luput dipesani untuk wajib melapor bila menjumpai kombinasi dari keluhan seperti batuk, sesak napas, demam, atau keluhan lain yang mengarah pada gejala corona. Dan saat naik menuju kursinya sendiri-sendiri, mereka tak bisa lebih menderita lagi saat tahu kalau semua permukaan pada kendaraan ternyata juga telah disemprot dengan cairan desinfektan. Semua bagian, baik permukaan luar maupun dalam, atas kursi ataupun kolongnya. Bahkan permukaan barang-barang bawaan yang tertinggal di bagasi kabin pun terasa lengket saat disentuh.
“Mambu bayclin yo7,” ucap seorang pemuda kepada yang lainnya.