Tanpa sadar Karen yang sedang “patah hati” ini melakukan manuver untuk terus menghindari Dave. Dan hari ini, setelah satu minggu menghindar, sepertinya Dave sudah tidak tahan lagi. Kakaknya yang biasanya selalu terlihat tenang dan cenderung tidak peka itupun mulai risih. Ia bahkan menunggu di depan pintu rumah hingga pukul satu malam untuk mencegat Karen demi sekadar percakapan singkat yang diharapnya dapat memberikan penjelasan mengenai sikap aneh Karen belakangan.
Kaki Karen berhenti sejenak setelah menutup mobil dan melihat Dave berdiri di depan pintu rumah dengan tangan terlipat di depan dada. Karen menarik dan menghembuskan nafasnya, menenangkan hatinya yang masih merasa terkhianati, lalu bergerak menghampirinya.
“Kau akan terus pulang tengah malam seperti ini?” tanya Dave sambil menyipitkan matanya di balik kacamata tanpa bingkai yang selalu dipakainya, bak bapak – bapak yang geram karena anak gadisnya nakal.
“Aku sedang banyak proyek,” elak Karen lelah sambil berusaha mendorong tubuh Dave menyingkir, tapi tentu saja tidak berhasil. Karen balas berkacak pinggang sementara matanya bergerak mengamati Dave yang sedang menggunakan kaos dan celana jeans selutut. Tentunya ini bukan kostum tidur Dave.
“Kau boleh banyak proyek. Tapi ini sudah jam berapa? Kau perempuan!”
“Kau sendiri mau kemana?! Bukannya tidur kau malah berkeliaran di tengah malam!” seru Karen tak mau kalah.
Dave memberengut kesal. Tangannya sudah siap untuk menyentil kening Karen. Namun melihat Karen memejamkan matanya erat – erat, ia menarik tangannya kembali dan menghembuskan nafasnya berat. “Berhentilah bersikap seperti anak kecil! Ini sebabnya aku tidak memberitahumu tentang rencana pernikahanku padamu!”
Karen diam tak lagi menjawab. Ia menundukkan kepalanya sedih. Air mata mendadak menyerang di pelupuk matanya. Astaga.. ia benci saat – saat seperti ini. Kenapa ia begitu lemah?
Tentunya Dave menyadari ia sudah salah berkata – kata. Ia menghembuskan nafasnya frustrasi, lalu menepuk kepala Karen pelan. “Maaf. Aku tidak bermaksud begitu..”
Karen menelan ludah dan tangisnya yang keluar tanpa alasan yang jelas itu, lalu menggeleng. “Aku juga salah karena sudah berteriak padamu,” ucapnya pelan tanpa mendongak. “Jadi kau berniat pergi kemana?”
Dave tak langsung menjawab. Matanya masih menatap Karen dengan perasaan bersalah. Lalu akhirnya menghembuskan nafas dalam. “Aku harus ke bandara menjemput temanku. Segera masuk dan istirahat. Kunci pintunya, okay?”
Karen mendongak dengan kening berkerut menatap Dave setelah berhasil meredam tangisnya. “Temanmu siapa?”
“Nanti kau juga tahu,” gumam Dave sambil melirik jam tangannya. “Aku sudah terlambat. Aku pergi dulu, ya?” katanya sambil mengecup pelipis Karen singkat, tersenyum, lalu segera masuk ke mobil sedan hitamnya yang sudah terparkir di luar pagar rumah, dan menghilang dalam waktu singkat.
Kening Karen berkerut samar memikirkan siapa yang akan Dave jemput malam - malam begini. Sepertinya orang penting? Karen menggelengkan kepala mengusir rasa ingin tahunya, dan segera masuk ke dalam. Seharusnya bukan seseorang yang penting.
***
Jam alarm digital Karen berbunyi tepat pukul 6 pagi. Ia meraba meja kecil yang ada di sampingnya, lalu menekan tombol mati alarm. Mata Karen masih terpejam. Namun setelah menghirup dan menghembuskan nafas, ia membuka mata. Ia harap ia bisa tidur nyenyak lebih lama. Tidurnya tak lagi pernah nyenyak sejak Dave menjelaskan rencana pernikahannya dengan Melisa.
Karen bergerak mendekati jendela, membuka gorden dan jendela, membiarkan cahaya matahari dan udara segar pagi hari masuk. Udara pagi hari di luar terasa sejuk. Suara burung – burung kecil yang berkicau terdengar menenangkan. Ia harap cerahnya mentari pagi bisa menyinari hidupnya yang meredup ini. Ia segera bergerak meraih handuk dan masuk ke kamar mandi.
Dua puluh menit kemudian, Karen sudah wangi. Ia berganti dengan gaun eksekutif hijau di atas lutut berlengan pendek yang nyaman dan mengikat rambut tebal berwarna coklat sepunggungnya ke atas. Setelah menggunakan bedak tipis dan lipstick berwarna merah muda yang tidak mencolok, ia memandangi dirinya sekali lagi di depan kaca, lalu tersenyum puas.
Karen segera turun ke bawah berniat untuk menyiapkan sarapan untuknya dan Dave seperti yang biasa dilakukannya. Namun langkahnya terhenti saat melihat seseorang sedang berdiri di depan lemari dapur, mengobrak – abrik lemari dapurnya. Jantungnya berdebar cepat saat menyadari bahwa laki – laki yang sedang berdiri di sana bukanlah Dave. Pencuri? Itu adalah hal pertama yang terlintas di benaknya.
Sebelum ia sempat berpikir, tiba – tiba orang tersebut menoleh padanya. Matanya tanpa sadar bergerak menyusuri penampilan orang itu. Laki – laki itu bertubuh tinggi, kulitnya coklat gelap, lengannya berotot, wajahnya hampir tidak terlihat karena tertutup rambut, kumis dan jenggot, dan mengenakan kaos longgar dan celana pendek jeans yang lusuh. Matanya bertatapan dengan orang itu sesaat, namun detik kemudian ia langsung berteriak keras dan berlari sekencang – kencangnya ke atas untuk membangunkan Dave. “Daveeeeeeee!!!” Ada pencuri di rumahnya!!
Orang itu mengejarnya, dan aksi kejar – kejaran itu tak lama berlangsung hingga Dave melesat keluar dari kamarnya begitu mendengar teriakan Karen. Karen langsung melompat dalam pelukan Dave dan manusia gua itupun berhenti di tangga.
“Apa? Kenapa? Ada apa?” Dave bertanya panik. Tatapan matanya mengikuti arah pandang mata Karen.
Karen membiarkan kakaknya itu merangkul bahunya, namun tangannya tidak bisa berhenti mencengkram ujung kaos Dave erat. Matanya mengamati mata coklat manusia gua yang berdiri di tangga, mematung.
Seolah baru menyadari apa yang membuat Karen heboh pagi ini, Dave menghembuskan nafasnya dan menjelaskan pelan, “Ini Ronan, kau masih ingat?” jelas Dave seperti memberi pengertian pada anak kecil.
Mata coklat terang manusia gua itu berkedip, membuat Karen juga terbangun dari lamunannya. Sekelebat ingatan mendadak terlintas di benaknya hingga membuat mulut dan matanya menganga lebar bersamaan dengan degup jantungnya yang berubah liar. “Ronan Suryaatmadja??” tanyanya tak percaya. Ia mendorong tubuh Dave menjauh perlahan.
Manusia gua bernama Ronan itu mengangkat sebelah tangannya ke udara untuk menyapa Karen. Entah bagaimana caranya, sekalipun mulutnya tertutup jenggot – yang entah sejak tahun berapa tidak pernah dicukur, Karen tahu bahwa laki – laki itu sedang tersenyum.
“Lama tak jumpa.” suara berat Ronan terdengar kering. Ramah, namun Karen masih belum bisa bergerak. Mendadak ia merasa ada sesuatu yang tersulut di dalam dadanya. Sulutan itu membentuk api yang panas dan membuat wajahnya ikut memerah marah.
Karen menatap kakaknya dengan kening berkerut tajam. Ronan? Dari sekian banyak laki – laki yang ada di dalam hidupnya, kenapa harus dia yang mendadak kembali? Tanpa berpikir apa – apa ia langsung masuk ke dalam kamarnya lagi dan mengunci pintu dengan bantingan keras.
***
Sudah tujuh tahun sejak terakhir kali Ronan menginjakkan kaki di Indonesia. Dan selama itu ternyata banyak sekali yang terjadi dan berubah. Gedung pencakar langit semakin banyak dibangun, jalanan kota semakin macet, dan kabarnya polusi di Jakarta menduduki peringkat lima besar di dunia.
Dave, sahabatnya itu juga banyak berubah dari segi penampilan. Orang yang dulunya selalu ia anggap culun itu kini terlihat seperti eksekutif muda. Kulit putih dan mata sipit khas asianya entah kenapa selalu menyaratkan senyum di balik kacamatanya sekalipun Dave sedang tidak tersenyum. Tubuhnya kini tegap dan berisi, tidak kurus kerempeng seperti dulu terakhir diingatnya. Sedikit berbeda dengan harapannya, namun ia cukup bahagia mendengar berita rencana pernikahan Dave.
“Sepertinya perjalanan hidupmu seru sekali,” komentar Dave saat melihat penampilan Ronan di bandara, lalu memeluknya sebagai ucapan selamat datang.
Ronan terkekeh. “Aku terlalu banyak bergumul dengan binatang hingga rasanya aku lupa bahasa Indonesia,” sahutnya sambil membalas pelukan Dave singkat.